Selama ini hidup saya terdiri atas 2 masa yang berbeda: Dari dulu masa “merasa punya banyak teman” dan beralih ke masa “merasa sendirian”.
Masa “merasa punya banyak teman” adalah ketika saya berusaha memenuhi tuntutan-tuntutan orang lain, tuntutan yang bahkan jadi standar masyarakat. Dan saya berhasil mencapainya.
Seperti saat usia saya 18 tahun. Teman-teman saya sudah punya pacar. Kalau saya enggak punya pacar, maka saya jadi orang yang berbeda dibandingkan teman-teman saya. Jadi di luar lingkaran pertemanan. Saya pun jadi “merasa sendirian”.
Karenanya saya berusaha punya pacar dan berhasil punya pacar. Sehingga saya pun kembali masuk ke dalam lingkaran pertemanan. Saya “merasa punya banyak teman”.
Serupa dengan pernikahan. Pernah menginjak usia di mana teman-teman saya sudah pada menikah. Kalau saya enggak segera menikah, maka saya jadi orang yang berbeda dibandingkan teman-teman saya. Jadi di luar lingkaran pertemanan. Saya pun jadi “merasa sendirian”.
Karenanya saya memberanikan diri mengajak menikah pacar saya dan akhirnya kami menikah. Sehingga saya pun kembali masuk ke dalam lingkaran pertemanan. Saya “merasa punya banyak teman”.
Begitu juga dalam fase hidup lainnya: Lulus kuliah, punya pekerjaan tetap, punya anak, punya rumah, dan sebagainya.
Tetapi pada suatu malam saya menyadari, hidup ini adakalanya kita mesti mengalami masa “merasa sendirian”. Maksudnya enggak harus selalu berusaha supaya “merasa punya banyak teman”. Enggak harus terus mengejar keberhasilan memenuhi tuntutan-tuntutan dan mencapai standar-standar itu.
Kita mesti mengendurkan kemelekatan pada tuntutan dan standar itu, yang udah mengakar di kepala, yang udah terprogram di batin – iya, batin kita terkondisi kaku – yang sudah disuburkan oleh pola asuh, pendidikan dan lingkungan.
Saya bertanya-tanya sendiri: Bukankah lebih enak kalau “merasa punya banyak teman”?
Saya enggak tahu jawaban pastinya. Tapi saya tahu bahwa terus berusaha memenuhi tuntutan dan standar itu, agar saya tidak ketinggalan pencapaian-pencapaian pertemanan seusia itu sungguh melelahkan.
Dan berada di luar lingkaran pertemanan, “merasa sendirian”, itu enggak nyaman, bahkan menakutkan. Tapi di saat yang bersamaan, itu menenangkan.
“Sendirian” yang enggak terkontaminasi riuhnya berbagai tuntutan dan standar.