Orang yang ngomongin kamu itu bahkan enggak benar-benar kenal dirinya sendiri. Lalu kenapa omongannya gampang bikin kamu sakit hati?
Di depan sebuah minimart yang sudah larut malam, Awan duduk berhadapan dengan sahabat lamanya, Langit. Gerimis turun pelan, membuat suasana terasa seperti ruang tunggu bagi pikiran-pikiran yang belum sempat dibereskan.
“Hidupku kok kayak gini banget ya,” kata Awan sambil mengaduk kopi yang sudah dingin. “Berusaha jadi versi terbaik menurut orang lain, tapi tetap aja selalu ada yang salah di mata mereka.”
Langit menatapnya sebentar, lalu bertanya pelan, “Versi terbaik menurut siapa?”
“Ya… menurut mereka. Keluarga, teman, atasan. Bahkan orang-orang di Instagram yang nggak aku kenal.” Awan tertawa kecil, tapi matanya tidak ikut tertawa. “Aneh ya, aku lebih percaya apa yang mereka pikirkan tentang aku… daripada apa yang aku rasakan sendiri.”
Langit menyandarkan tubuh ke kursi, tangannya menggenggam gelas teh hangat. “Mungkin karena kamu belum benar-benar kenal dirimu?”
Awan mengerutkan dahi. “Maksudmu?”
“Kalau kamu tahu siapa dirimu,” ucap Langit tenang, “Omongan orang jadi seperti angin. Lewat saja. Enggak perlu tergesa dipercaya sepenuhnya, juga enggak perlu ditelan. Tapi kalau kamu masih berdiri di atas ego yang dibangun dari opini orang lain, ya pasti goyah kan?”
Awan terdiam. Matanya melihat ke arah jalan, menembus tetesan hujan yang semakin deras.
“Kamu tahu nggak,” lanjut Langit, “sejak aku berhenti cari validasi, aku malah ngerasa lebih hidup. Lebih kosong sih, tapi entah kenapa… justru lebih penuh.”
“Kosong tapi penuh?” Awan tersenyum samar. “Kayak paradoks.”
“Iya,” jawab Langit. “Tapi itulah rasanya pulang ke diri sendiri. Bukan ke self image yang diciptakan pikiran. Bukan juga ke omongan orang.”
Awan diam. Angin malam lewat, dingin tapi terasa jujur.
“Orang bilang kamu sombong, kamu terlalu pendiam, kamu aneh… Itu semua sebenarnya lebih tentang mereka, bukan semata tentang kamu,” lanjut Langit. “Kamu goyah karena kamu berdiri dan pondasinya masih omongan mereka. Pondasinya belum dirimu sendiri di dimensi terdalam. The deep I.”
Awan menunduk. Di antara lampu kota yang samar, ia merasa seperti menemukan sesuatu dalam gelap.
“Bisa nggak sih hidup tanpa peduli omongan orang?”
“Bukan enggak peduli,” jawab Langit. “Tapi sadar kalau omongan orang itu bukanlah cermin yang bisa nunjukin siapa kamu sebenarnya.”
Awan tidak menjawab. Dan mungkin, dari situ perjalanan pulangnya pelan-pelan dimulai.
Kita hidup seperti melihat cermin retak.
Seluruh gagasan tentang “siapa aku” dibentuk oleh pantulan cermin yang retak. Sehingga pantulan itu bukan datang dari kesadaran diri, melainkan dari omongan orang, opini, pujian, kritik, label, segala sesuatu yang orang lain lontarkan.
Padahal:
“Apa pun yang orang katakan tentangmu, itu bukan semata tentangmu. Itu lebih tentang mereka.”
Ejekan, orang menyebutmu bodoh, itu karena mereka punya standar kebodohan sendiri.
Begitu juga pujian, orang menyebutmu pintar, itu karena mereka punya definisi kepintaran sendiri.
Apa pun yang mereka katakan, itu cenderung cermin diri mereka, bukan kebenaran tentang dirimu.
Namun mengapa kita goyah? Mengapa saat diejek, kita gampang sakit hati, marah, minder, atau saat dipuji, kita senang bukan main, dan itu semua hanya karena omongan orang?
Karena pondasi kita masih sesuatu yang ilusi, nggak nyata, nggak kokoh. Karena kita masih berpusat pada diri yang palsu, yaitu ego.
Ego: Diri yang Tidak Pernah Tenang, Unease
Ego adalah diri yang dibentuk dari luar. Ia seperti rumah kardus yang kita hias dengan segala macam pujian, gelar, jabatan, pencapaian, pengakuan, likes dan followers.
Dan karena rumah ini terbuat dari kardus, tiap kali ada angin kecil dari luar, yaitu omongan orang, kita goyah, panik. Kita takut rumah ini roboh.
Maka kita menjadi budak.
Budak untuk terlihat baik.
Budak untuk diterima.
Budak untuk dianggap sukses, berhasil.
Kita menjadi sangat melekat (attach) pada ke”aku”an, diri palsu (ego). Kita tidak sadar akan diri yang sesungguhnya (deep I), kita hanya sibuk dengan diri palsu (ego).
“Sangat melekat (attach) pada ke”aku”an” adalah tanda bahwa kamu belum sadar siapa dirimu yang sesungguhnya.
Ketika kamu sungguh sadar siapa dirimu, kamu tidak lagi terlalu sibuk dengan “bagaimana aku terlihat” di mata orang.
Saya tidak bilang itu nggak penting. Tapi memikirkan “bagaimana aku terlihat” di mata orang itu sebaiknya secukupnya saja.
Kamu menjadi alami, otentik, tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikontrol, dan oleh karena itu… kamu lebih hidup.
Opini Orang: Sampah yang Kita Bawa Seperti Harta
Kita hidup seperti pemulung yang mengira sedang membawa emas.
Padahal kita hanya membawa sampah dari omongan, pendapat orang lain, yang bahkan mereka sendiri enggak benar-benar kenal diri mereka sendiri itu sesungguhnya siapa.
Orangtuamu belum tentu benar-benar kenal diri mereka sendiri itu sesungguhnya siapa.
Keluargamu, temanmu, pasanganmu, rekan kerjamu, atasanmu, juga begitu.
Semua sedang tersesat dalam pola yang diwariskan. Kita enggak menemukan diri kita sendiri.
Dan ironisnya, selama ini yang kita anggap diri kita, yang kita kira identitas kita, itu sebenarnya cuma berdasar omongan, pendapat orang lain.
Seolah-olah mereka tahu jalan menuju dirimu. Padahal mereka belum menemukan jalan pulang ke dalam diri mereka sendiri.
Jadi, apa yang sebaiknya dilakukan?
Berhentilah. Diam. Hening. Tengoklah ke dalam.
Jangan terus bergerak ke luar, jangan menumpahkan semua perhatian ke omongan orang, pendapat, opini, validasi, pembenaran.
Sisakan tenaga. Masuklah ke dalam diri, ke dalam keheningan. Ke pusat yang sejati, yang kokoh. Bukan pusat yang dibentuk dari harapan orang lain, tapi ke ruang yang sangat lapang, formless, pure awareness, yang ada, senantiasa ada sebelum semua hal ada.
Itulah satu-satunya tempat kamu bisa menemukan dirimu.
Dan saat kamu menemukannya, kamu tidak akan terlalu peduli lagi apakah orang bilang kamu baik atau jahat, berhasil atau gagal.
Kamu hanya sekadar hadir, just be. Dan keberadaanmu itu udah cukup.
Enggak perlulah terlalu menghabiskan hidup dengan ngotot berusaha supaya omongan orang lain mengenai dirimu itu selalu baik, positif.
Itu seperti mengecat dinding penjara sambil meyakinkan diri bahwa itu rumah. Sekaligus itu tentu sangat melelahkan.
Kendurkan pelan-pelan, dan pulanglah ke dalam, ke keheningan, di mana dirimu yang sejati senantiasa menunggu.