Ketika muncul emosi marah, tunda reaksi marahmu. Daripada luka terjadi tanpa bisa diperbaiki kembali. Daripada yang tersisa hanya penyesalan.
“Kamu tipe yang kalo marah langsung meledak? Tunda dulu, ini alasannya…”
Di sebuah coffee shop kecil yang sepi di sudut kota, dua sahabat lama duduk berhadapan: Adam dan Rama. Hari itu suasana berbeda. Saking sudah lama mereka ngobrol, kopi di meja sudah dingin.
“Aku nggak habis pikir, Dam,” kata Rama sambil mengerutkan kening. “Kenapa kamu diem aja waktu kemarin pasanganmu marah-marah ke kamu? Kalau aku sih udah bales ngomong saat itu juga.”
Adam hanya tersenyum tipis. Ia mengaduk kopinya tanpa niat minum.
“Aku inget satu nasihat,” jawab Adam pelan. “Kira-kira begini: kalau ada yang bikin kamu marah, jangan langsung balas. Tunda dulu beberapa waktu.”
Rama terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, agak heran. “Hah? Tunda dulu beberapa waktu? Maksudnya gimana?”
Adam menatap keluar jendela, “Aku dulu juga mikirnya aneh. Tapi percaya nggak percaya, begitu aku tunda beberapa waktu, marahku berangsur surut sendiri.”
Rama mengangkat alis, “Terus… kalau setelah ditunda masih marah?”
“Ya udah, tetep ngomong. Tapi seringnya setelah aku tunda beberapa waktu, aku malah ngerasa lebih tenang. Aku bisa lihat situasinya lebih jernih. Bahkan kemarin aku jadi sadar, Debby sebenernya lagi stress banget, bukan bener-bener nyalahin aku.”
Rama bersandar, terdiam lebih lama, “Kedengeran bijak juga ya… Tapi susah banget sih kalau pas emosi.”
Adam tersenyum, “Itu dia. Justru di situlah tantangannya. Kita nggak perlu buru-buru jadi budak reaksi.”
Rama menghela napas, “Hmm… besok kalau ada yang bikin aku marah, aku coba deh. Belum tentu sukses sih, tapi bakal aku coba.”
Adam mengangguk pelan, “Itu aja cukup. Pelan-pelan. Nggak ada yang harus buru-buru, bahkan marah sekalipun.”
Di luar, langit mulai berubah warna, sore menua jadi senja. Seolah percakapan barusan bukan hanya tentang kemarahan, tapi tentang belajar menjadi lebih dewasa.
Kalau ada yang bikin kamu marah, jangan langsung bereaksi meluapkan marahmu. Tundalah dulu beberapa waktu.
Kemarahan adalah bentuk energi emosi yang sangat kuat.
Biasanya, saat marah kita reaktif, bereaksi secara otomatis, autopilot. Enggak sadar, enggak mindful, kayak zombie. Kata-kata terlontar tanpa kesadaran, tindakan muncul tanpa pikir panjang, dan kerusakan pun terjadi tanpa bisa diperbaiki kembali. Kemarahan datang seperti badai: cepat, keras, dan meledak. Yang tersisa hanya penyesalan.
Tapi jika kita menunda reaksi itu, jika kita memberi jarak, ruang, dan waktu, sesuatu yang ajaib terjadi.
Dalam beberapa waktu menunda, amarah yang sebelumnya membara mulai mendingin. Bahkan enggak lama saja, sudah banyak emosi marah yang menguap sendiri. Setelah menunda lebih lama lagi, energi reaktif yang semula membuncah seringkali menghilang sama sekali, menyisakan kejernihan dan kebijaksanaan. Apa yang tersisa setelah menunda beberapa waktu bukan lagi reaksi, melainkan respon berlandaskan sadar.
Ini bukan sekadar teknik manajemen emosi. Ini adalah latihan kesadaran. Latihan spiritual.
Mengapa? Karena kesadaran membutuhkan ruang. Saat kamu tidak bereaksi otomatis, kamu memberi kesempatan pada diri untuk sekadar hadir, hanya menyadari, menyaksikan:
Dalam dunia modern saat ini, di mana komunikasi serba instan: balasan pesan cepat, komentar pedas di media sosial, debat yang tak kunjung selesai, saran ini menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Kita hidup di era di mana orang terbiasa untuk langsung bereaksi. Jarak antara stimulus dan respons hampir nihil. Dan karena itulah begitu banyak relasi hancur, begitu banyak konflik terjadi hanya karena tidak ada jeda.
Padahal sesungguhnya, pemulihanmu dimulai dari ruang jeda itu.
Lihatlah, menunda beberapa waktu itu bukan hanya tentang menunda amarah, tapi tentang memberi ruang supaya kita terhubung lagi dengan dimensi kesadaran. Ruang itu adalah pemulihan kita, kebebasan kita. Kita bukan lagi budak ego yang terluka.
Iya, ini bukan skill tentang mendapatkan uang atau kekayaan. Tapi kita perlu membagikan skill yang lebih berharga ini, yaitu skill untuk menemukan kebebasan batin, sehingga makin banyak orang tidak lagi diperbudak oleh reaksi emosional.
Coba renungkan: Ketika ada orang yang memancing marahmu, bisakah kamu menunda marahmu? Bilang: “Aku akan menanggapi, tapi tunggu bentar ya”? Tentu nggak mudah. Tapi dalam latihan kecil itulah terletak pintu menuju kedewasaan, menuju kesadaran. Kita bisa memilih:
Kalau kamu bisa beberapa waktu menunda reaksi emosimu (bukan hanya marah, tapi juga berbagai emosi lainnya), kamu telah melakukan satu langkah besar untuk mengalami pemulihan dan kebebasan yang sebenarnya. Itu seolah seperti pelajaran hidup terbesar yang bisa diwariskan orang tua manapun kepada anaknya.