Luka Lama dan Dimensi Diri yang Tak Pernah Terluka: Kamu Bukan Traumamu

4 menit baca

Luka trauma lama bisa muncul lagi, tapi kamu bukan luka itu.

Kalau kamu terus menganggap dirimu adalah luka itu, kamu akan terus terjebak dalam cerita lama yang tak ada akhirnya. Saatnya sadar: Kamu bukan cerita itu. Kamu bukan awan. Kamu adalah langit yang lebih luas dari luka.

Dinda duduk di mejanya, menatap layar laptop kosong. Tapi pikirannya mengembara jauh ke masa lalu.

Tiba-tiba, Andra, rekan kerjanya yang duduk di meja seberang, “Din,” katanya pelan sambil mencondongkan badan, “Kamu oke?”

Dinda menghela napas, lalu menggeleng, “Enggak tahu, Ndra. Tiba-tiba inget lagi kejadian dulu. Rasanya kayak nggak bisa lepas.

Andra mendekat, duduk di kursi kosong sebelah Dinda, “Kejadian apa?”

Dinda menunduk, “Perpisahan waktu itu. Udah bertahun-tahun lewat, tapi kadang kalau lagi diem kayak gini, malah muncul semua rasanya. Sakitnya datang lagi. Bahkan sekarang, pas aku lagi berusaha tenang aja, kayak diserang tiba-tiba.”

Andra berkata perlahan, “Aku ngerti, Din. Tapi kamu sadar nggak? Kamu tuh lebih besar dari rasa sakit itu.

Dinda menoleh, “Maksudmu?”

Andra tersenyum kecil, “Luka itu memang ada. Dia muncul, terasa, kadang nyakitin banget. Tapi yang penting bukan lukanya. Yang penting kamu sadar bahwa kamu bukan luka itu. Kamu adalah kesadaran yang bisa melihat luka itu. Kamu adalah ruang yang sangat lapang untuk semua rasa itu muncul dan lenyap.

Dinda terdiam, “Tapi rasanya susah banget. Kadang aku malah ngerasa aku adalah luka trauma itu.”

Andra mengangguk pelan, “Kadang aku juga terjebak ngerasa kalau aku adalah luka traumaku. Tapi aku belajar: Waktu ingatan atau perasaan itu datang, coba lihat, sadari aja ingatan atau perasaan itu… Sehingga aku berjarak dengan ingatan atau perasaan itu. Rasain, iya. Tapi jangan jadi ingatan atau perasaan itu.”

Dinda menghela napas lagi, kali ini lebih lega,

“Kayak aku bukanlah awan kelabu itu, tapi aku adalah langit yang sangat luas ya?”

Andra tersenyum lebar, “Tepat sekali. Kamu langitnya. Awan itu datang dan pergi, muncul lalu lenyap aja.

Dinda menatap ke luar jendela kantor yang sore itu mulai mendung. Tapi tetap saja, di balik awan yang terluka, langit selalu ada… sangat luas… dan langit tidak terluka, bahkan tidak bisa terluka.

Kadang hidup membawa kita ke tempat yang berat: kegagalan, perpisahan, kecelakaan, kehilangan besar, atau peristiwa traumatis lain yang meninggalkan jejak mendalam dalam tubuh dan pikiran. Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu, luka trauma lama itu bisa muncul lagi, seperti gelombang yang tiba-tiba datang. Bisa memukul kita kapan saja, bahkan di saat kondisi kita baik-baik saja.

Ada yang bertanya, ”Kalau aku adalah penyintas trauma, apa yang bisa aku lakukan saat rasa sakit emosional tiba-tiba menyerang, bahkan ketika hidupku sedang tenang dan baik-baik saja?”

Mungkin saja dalam hidup ini, luka dan jejak trauma itu tidak akan sepenuhnya hilang. Bekasnya bisa saja tetap ada. Tapi itu bukan masalah utama. Yang terpenting adalah kita sadar bahwa ada dimensi dalam diri kita yang tidak pernah bisa disentuh oleh pengalaman apa pun. Dimensi yang tak pernah terluka, yang selalu utuh, formless, damai, dan cinta.

Bisa kita pahami begini:

Saat kita mengalami luka trauma, pikiran kita cenderung mengulang-ulang cerita lama, menghidupkan kembali memori buruk, dan menjadikan luka itu sebagai bagian identitas kita. ”Aku ini korban,” kata suara dalam pikiran. Suara yang serupa, “Aku adalah anak broken home,” “Aku itu fatherless,” dan lain sebagainya. Lama-lama kita jadi merasa: ”Luka trauma ini adalah aku.”

Nah, inilah jebakan yang perlu kita waspadai.

Kalau kita terus mengidentifikasi diri dengan luka trauma itu, kita seolah membiarkan luka trauma lama itu mendefinisikan siapa diri kita sebenarnya. Kita tidak hanya merasakan sakit, kita bahkan menjadi sakit itu sendiri.

Dan yang lebih berbahaya, luka trauma itu menggunakan pikiran kita untuk terus memperbarui dan menguatkan dirinya: Memori lama muncul lagi, pikiran negatif terus mengalir begitu deras, dan kita terjebak dalam siklus yang melelahkan.

Tapi ada jalan keluarnya, yaitu: Terhubunglah dengan dimensi, ruang terdalam dalam diri kita, deeper I, yang sangat luas, formless, yaitu kesadaran, pure awareness.

Saat ingatan, emosi, rasa sakit muncul, kita bisa belajar menjadi *ruang yang menampungnya*.

Bayangkan ada awan hitam yang lewat, dan kita adalah langit yang luas di baliknya yang senantiasa jadi background. Awan itu mungkin gelap gulita, tapi langit tetap ada, tetap luas, dan tidak pernah terganggu.

Praktiknya sederhana tapi tidak mudah:

  • Saat gelombang ingatan, emosi, rasa sakit itu datang, sadari: ”Ini hanya gelombang lama, ini bukan aku.”
  • Sadari sensasi yang muncul, tapi jangan biarkan diri mengidentifikasi dengan sensasi,
  • Latih diri menjadi ruang bagi semua pikiran, ingatan dan perasaan, tidak menolak, tapi juga tidak melekat.
  • Dan yang penting, jangan hanya berlatih saat ingatan dan rasa sakit datang. Berlatihlah saat keadaan tenang, dengan sadar penuh, hadir utuh di sini-kini di berbagai kesempatan, menyadari napas, menikmati momen kecil sehari-hari. Ini akan memperkuat “otot kesadaran” kita.

Pada akhirnya, pemulihan yang sesungguhnya bukan berarti ingatan, emosi, rasa sakit itu benar-benar hilang.

Pemulihan yang sesungguhnya berarti diri kita tidak lagi terikat padanya, tidak mengidentifikasi dengan luka trauma, “Aku bukanlah luka traumaku.”

Kita sadar siapa diri kita yang sejatinya. Bukan sekadar cerita-cerita masa lalu, bukan sekadar luka trauma. Kita adalah ruang sangat luas, langit kesadaran yang memeluk semua awan ingatan, pikiran dan perasaan, tanpa melekat.

Dan kadang, justru pengalaman terluka itulah yang menjadi celah pembuka. Luka itu bisa menjadi pintu masuk menuju kesadaran yang lebih dalam. Karena ketika ego sudah tidak sanggup lagi menahan beban, ia retak. Dan melalui retakan itu, kita bisa melihat siapa diri kita yang sejati.

Jadi, kalau saat ini kamu sedang berproses memulihkan luka trauma lama, ingat baik-baik:

Kamu bukan luka traumamu. Kamu adalah ruang yang sangat luas yang senantiasa mampu menampung luka yang datang dan pergi, muncul lalu lenyap. Bagaimana pun, langit tidak akan bisa dihancurkan awan, diri sejati tidak akan bisa dihancurkan luka trauma.

Latihlah kesadaran penuh kehadiran utuh di sini-kini saat hidup sedang baik-baik saja, supaya saat badai datang, ingatan akan luka dan perasaan sakit itu muncul, kamu tetap terhubung dengan langit kesadaran yang sangat luas. Tidak terjebak dalam awan, sehingga hanya mengizinkan awan luka trauma itu lewat, datang dan pergi, muncul lalu lenyap.

Mental Health, Mindfulness, Psychology, Self Improvement, Spirituality
4 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan