Relasi bukan cuma soal orang lain. Relasi juga cermin yang menunjukkan siapa dirimu sebenarnya.
Kumo menatap layar ponsel. Pesan terakhir ke Mila masih belum dibalas. Sudah delapan jam.
“Dia marah, ya?”
“Aku salah apa?”
“Atau aku nggak penting lagi buat dia?”
Pikiran-pikiran itu datang silih berganti. Perutnya mual, dadanya sesak. Ia melempar ponsel ke sofa.
Arka lewat sambil membawa gelas teh.
“Masih nunggu chat dari Mila?”
Kumo mengangguk, malas bicara.
“Kamu sadar nggak,” kata Arka pelan, “yang lebih bikin kamu sakit itu bukan dia belum bales. Tapi apa yang kamu pikirin tentang dirimu sendiri karena dia belum bales.”
Kumo terdiam.
“Kadang hubungan itu kayak cermin, Mo. Kamu bukan cuma ngelihat orang lain. Kamu lagi ngelihat lukamu sendiri.”
Notifikasi belum muncul. Tapi kali ini, Kumo bisa duduk berangsur tenang. Bukan karena Mila akhirnya membalas. Tapi karena dia mulai sadar, siapa yang sebenarnya sedang dia hadapi. Dirinya sendiri.
Setiap detik kehidupan, entah kita sadari atau tidak, sebenarnya kita sedang berelasi. Bukan hanya relasi dengan pasangan, keluarga, atau teman, tetapi juga dengan benda, ide, memori, alam, bahkan dengan diri sendiri. Kita sedang terus-menerus berelasi.
Bahkan saat seseorang memilih hidup menyendiri di gunung, menjauh dari hiruk-pikuk dunia, dia tetap menjalin relasi. Berelasi dengan pikirannya sendiri, dengan masa lalunya, dengan memori orang-orang yang ditinggalkan, atau dengan gagasan spiritual yang dia yakini.
Tidak ada satu pun manusia yang sepenuhnya terlepas dari relasi. Karena pada dasarnya, hidup ini adalah perihal relasi.
Relasi sebagai Cermin
Relasi bukanlah sesuatu yang bisa kita hindari. Dan justru karena tidak bisa dihindari, relasi menjadi cermin paling jujur untuk melihat siapa diri kita sebenarnya.
Bayangkan saat seseorang bersikap menyebalkan, kita pun tersulut emosi. Di situ bukan hanya perilaku orang itu yang terlihat, tapi juga terlihat emosi yang muncul di dalam diri kita sendiri. Kita juga perlu melihat reaksi kita. Kita perlu mengenali luka kita. Kita berhadapan langsung dengan luka trauma masa lalu, rasa takut ditolak, iri, malu, atau merasa tak berharga.
Relasi sehari-hari, bahkan yang tampak remeh seperti sebel karena pesan tidak dibalas, bisa jadi pintu masuk untuk memahami luka trauma, ketakutan akan kesepian, kecanduan validasi, atau kemelekatan pada image citra diri yang diciptakan pikiran.
Tanpa relasi, kita tidak pernah benar-benar tahu siapa diri kita.
Apa yang Terungkap dalam Relasi?
Lewat relasi, muncul hal-hal seperti:
Reaksi spontan: marah, baper, defensif; Ketakutan: akan kehilangan, ditinggalkan, dikhianati; Harapan: ingin dipahami, diakui, dicintai; Pola-pola lama: menyenangkan orang lain, menghindar, menyalahkan; Luka batin, trauma yang belum pulih.
Dan jika cukup jujur untuk mengamati semua itu tanpa menghakimi, kita juga bisa melihat:
Apakah cinta benar-benar hadir dalam relasi itu?
Ataukah yang selama ini kita sebut cinta, sebenarnya hanyalah bentuk lain dari kemelekatan, ketergantungan, atau bahkan rasa takut?
Relasi Adalah Dasar dari Cinta
Cinta yang sebenarnya bukanlah konsep manis penuh bunga.
Cinta bukan romantisasi, bukan rasa berbunga-bunga, bukan pula klaim “aku mencintaimu.”
Cinta adalah ruang yang jernih, sangat lapang, formless, sekadar hadir di sini-kini, bebas dari syarat.
Dan kita hanya bisa tahu apakah cinta itu ada melalui relasi.
Tanpa relasi, kita hanya punya imajinasi tentang cinta. Tapi dalam relasi yang nyata, ketika ada konflik, rasa kecewa, perbedaan, kebosanan, dan sebagainya, di situlah kita bisa menemukan:
Apakah kita bereaksi berlandaskan luka, trauma dan ego, atau sekadar hadir dengan pengertian yang tidak menghakimi, sehingga bukan bereaksi, melainkan merespon dengan bijak?
Relasi Sehari-hari Sebagai Latihan Kesadaran
Kita bisa memandang relasi sebagai laboratorium kesadaran.
Setiap obrolan, konflik, kekecewaan, dan sebagainya dalam relasi adalah kesempatan untuk mengenali diri sendiri.
Daripada menjadikan relasi sebagai sumber drama dan penderitaan, kita bisa menggunakannya sebagai jalan pulang ke diri sendiri, ke kejujuran diri, ke keterhubungan yang lebih dalam, ke keheningan batin.
Dan ketika kita benar-benar hadir dalam relasi, tanpa membawa masa lalu atau harapan masa depan, maka barangkali, untuk pertama kalinya, kita baru benar-benar mencintai.
Kita tidak bisa hidup tanpa relasi. Tapi yang lebih penting dari itu adalah: Apa yang kita temukan tentang diri kita lewat relasi itu?
Karena pada akhirnya, relasi bukan hanya soal siapa yang salah atau siapa yang menyakiti. Relasi juga tentang bagaimana kita mengenal dan membebaskan diri dari ilusi tentang diri kita sendiri.