Seringkali “kamu mencintai dia” itu sebenarnya bukan “kamu mencintai dia”. Tapi hanyalah “kamu takut kehilangan dia”.
Ke orang tuamu, keluargamu, pasanganmu, atau anakmu. Seringkali yang kita sebut “cinta” dan “mencintai”, sebenarnya hanyalah pembesaran ego yang ingin memiliki.
“Jadi… kamu benar-benar mau pindah?” tanya Neva pelan.
Arka mengangguk, tersenyum tipis, “Sudah waktunya, Va. Tawaran itu datang bukan cuma karena pekerjaan. Aku juga butuh ruang buat tumbuh.”
“Aku enggak mau kamu pergi,” bisik Neva. “Tapi aku tahu aku juga enggak bisa menahanmu.”
Lanjut Neva, “Aku enggak menahanmu pergi bukan berarti aku berhenti mencintaimu. Justru karena aku mencintaimu, aku enggak mau memilikimu, karena kamu bukan barang. Aku pengen kita saling mencintai, tanpa saling takut kehilangan.”
Neva memejamkan mata. Ada perih di sana. Tapi juga ada kelegaan.
“Jadi… ini bukan selamat tinggal?” Tanya Arka.
“Bukan,” jawab Neva. “Ini perihal mencintaimu, tanpa memilikimu… Aku mencintaimu karena aku mencintai kebebasanmu, begitu juga kebebasanku.“
Pernahkah kamu merasa mencintai seseorang dan justru merasa takut kehilangannya?
Itu bukan cinta. Itu kemelekatan, attachment.
Banyak orang menyebut kemelekatan sebagai cinta. Tapi kemelekatan bukan cinta. Itu adalah rasa takut yang menyamar. Ketakutan akan kesepian. Ketakutan tidak dihargai. Ketakutan tak lagi dianggap penting. Akibatnya, bukan memberi kebebasan, tapi justru kita menggenggam seseorang erat-erat karena kita ketakutan dia pergi.
Tapi cinta sejati bukan seperti itu.
Cinta sejati tak berkata, “Kamu milikku.”
Cinta sejati berkata, “Kamu milikmu sendiri. Dan aku bersyukur bisa mencintaimu tanpa mencoba memilikimu.”
“Aku tak takut kehilanganmu, sebab kamu bukan milikku. Aku mencintaimu sebagaimana adanya dirimu. Tanpa syarat, tanpa ketakutan, tanpa ego, tanpa keinginan untuk mengikatmu kencang-kencang di dalam hidupku.”
Itu bukan teori. Itu adalah latihan kesadaran.
Bayangkan seseorang berdiri di depanmu, orang yang sangat kamu cintai. Bisa orang tuamu, keluargamu, pasanganmu, atau anakmu. Kini tanya dirimu sendiri: Apakah aku mencintainya atau aku hanya takut kehilangannya? Apakah aku menghargai kebebasannya, atau aku hanya ingin dia tetap di dekatku agar aku merasa aman?
Sebagian besar dari kita mencintai demi rasa nyaman, bukan demi kebebasan. Kita memenjarakan yang kita cintai dengan harapan, dengan ekspektasi, dengan tuntutan untuk “selalu ada.” Kita berkata, “Kalau kamu cinta aku, kamu tidak akan pergi.” Tapi cinta sejati justru berkata, “Karena aku cinta kamu, kamu bebas untuk pergi.”
Cinta sejati adalah keheningan, bukan tuntutan.
Cinta sejati tidak mencari pengakuan. Tidak haus validasi. Tidak ingin dilihat sebagai ‘pasangan ideal’. Cinta sejati tidak ingin memiliki, ia hanya ingin mengalir dan saling menghidupkan.
“Aku mencintaimu karena aku mencintai kebebasanmu, begitu juga kebebasanku.”
Cinta semacam ini tidak menyakitkan, sebab ia tidak menuntut balasan. Ia hanya ada. Seperti matahari yang bersinar tanpa bertanya siapa yang akan berterima kasih.
Inilah cinta yang membebaskan, bukan yang mengekang.
Inilah cinta yang mekar dari kesadaran, bukan dari kesepian, kekosongan batin yang ingin diisi.
Dan bila kamu bisa mencintai dengan cara ini, tanpa ketakutan, tanpa tuntutan, tanpa rasa memiliki, maka kamu telah bertemu dengan keajaiban sejati: cinta sebagai bentuk tertinggi dari pemulihan dan kedamaian batin.
“Kebanyakan orang tidak pernah benar-benar mencintai. Mereka hanya seolah mencintai, demi dirinya sendiri, demi “aku”.”
Kalau kamu merenung sejenak…
Apakah selama ini kamu sungguh-sungguh mencintai dia? Atau kamu hanya takut kehilangan dia?
Tidak mudah benar-benar mencintai. Setidaknya sadari dan akui, yang kita lakukan selama ini sesungguhnya bukanlah cinta. Tapi ego yang ingin memiliki dan takut kehilangan.