Menjalin Relasi Berdua, Tapi Kamu Merasa Sendirian?

3 menit baca

Dunia penuh kesedihan, kekacauan, perang dan penderitaan. Karena itu, kita ingin melarikan diri, mencari rasa aman, membangun tembok psikologis, hidup dalam isolasi. Celakanya, relasi yang kita jalin seringkali sebenarnya hanya untuk memperkuat isolasi itu.

Malam itu, Arka dan Sinta duduk berhadapan di ruang tamu.

“Aku capek, Ka,” kata Sinta pelan.

“Capek gimana maksudnya?” Arka menatapnya bingung.

“Capek ngerasa sendirian, padahal kita menjalin relasi berdua.”

Arka terdiam. Ia ingin membantah, ingin berkata bahwa ia selalu ada. Tapi di kepalanya, ada suara lain: ‘Bukankah selama ini aku juga ngerasa sendiri? Sering cuma pengen didengerin, tapi nggak pernah benar-benar didengar.’

Arka akhirnya berkata lirih, “Aku juga ngerasa gitu, Sin. Kayak… ada tembok di antara kita.”

Mata Sinta berkaca-kaca, “Tembok itu kita yang bangun, kan? Aku dengan egoku, kamu dengan ketakutanmu.”

Arka menarik napas panjang. Ia sadar, selama ini ia hanya mendekat kalau merasa nyaman, lalu menjauh ketika dikit aja merasa tersakiti.

Sejenak mereka saling terdiam, seakan sedang melihat diri mereka sendiri lewat satu sama lain. Relasi itu seperti cermin. Dan untuk pertama kalinya malam itu, mereka berani melihat diri mereka sendiri tanpa lari.

Kita sering mengira relasi adalah soal kita dan orang lain. Tentang cinta, persahabatan, atau ikatan keluarga. Tapi kalau ditelusuri lebih dalam, relasi sebenarnya juga adalah jalan kita mengenal diri sendiri. Relasi bagaikan cermin: dari gimana kita ngomong, bersikap, bereaksi, merespon orang lain, sebenarnya kita bisa melihat siapa diri kita sesungguhnya.

Namun masalahnya, cermin itu tidak selalu jernih. Kita cenderung lebih suka melihat apa yang ingin kita lihat di dalam relasi, bukan kenyataan apa yang sebenarnya ada.

Kita membangun gambaran ideal, padahal kenyataan tidak selalu begitu.

Relasi yang Berpusat pada Kepuasan Ego

Di satu sisi, iya, enggak sehat kalau kita tidak peka, tidak menjauh dari relasi yang toxic. Tapi sama enggak sehatnya kalau sedikit saja ada ketidaknyamanan dalam relasi, kita dikit-dikit ngejudge itu toxic.

Coba perhatikan relasi sehari-hari. Misalnya, saat dekat dengan seseorang, seringkali tanpa sadar kita merasa nyaman karena orang itu memberi perhatian, menemani, atau membuat kita merasa berharga. Selama itu berjalan, kita bilang “relasi ini baik.”

Tapi begitu orang itu sedikit saja berbeda pendapat, membuat kecewa, atau tidak lagi memenuhi harapan, kita merasa terganggu. Langsung ngejudge itu toxic, bahkan ada yang bergegas menjauh atau memutus hubungan.

Seolah-olah relasi hanya “berfungsi” selama relasi memberi kepuasan ego kita.

Sayangnya, kalau dipikir, bukankah banyak relasi bekerja seperti ini?

Kita sering lebih peduli pada kenyamanan kita sendiri, ketimbang benar-benar peduli pada orang lain.

Tembok yang Tak Terlihat

Tanpa kita sadari, bisa jadi relasi yang kita jalin itu seperti membangun tembok. Kita punya tembok psikologis (luka trauma masa lalu, ego, rasa takut, kesedihan, kemarahan, kecemasan), tembok ekonomi (status, pekerjaan), bahkan tembok sosial (identitas kelompok, suku, negara).

Misalnya, dalam pertemanan, ada orang yang hanya mau bergaul dengan yang “selevel” secara ekonomi. Atau lebih mau membantu dengan yang identitasnya sama. Atau dalam keluarga, ada tembok ego: “aku tidak mau mengalah, biar dia saja yang minta maaf.”

Tembok itu membuat kita tetap merasa aman di balik perlindungan, tapi di sisi lain juga membuat kita tidak pernah benar-benar berelasi. Kita hanya melihat orang lain dari celah tembok, bukan bertemu tanpa jarak. Selama kita hidup di balik tembok itu, sejatinya kita tidak benar-benar berelasi. Kita hanya hidup dalam isolasi pribadi.

Mengapa Kita Bersembunyi?

Dunia ini penuh dengan kekacauan: ketidakadilan, kekerasan, penindasan, kesedihan, kegagalan, bencana, perang, dan penderitaan. Tidak heran banyak orang lebih memilih bersembunyi dalam “dunia kecilnya sendiri” untuk mencari rasa aman.

Namun, pola ini justru membuat relasi menjadi proses isolasi. Kita memang terhubung, tapi hanya sebatas bersentuhan dari balik tembok masing-masing.

Hasilnya? Masyarakat pun ikut terbentuk menjadi penuh keterpisahan, fragmentasi. Orang saling berinteraksi, tapi tanpa benar-benar terkoneksi. Kita hidup dalam dunia yang makin ramai, tapi juga makin sepi.

Melihat Relasi sebagai Jalan Kesadaran

Kalau begitu, bagaimana sebaiknya kita memandang relasi?

Daripada menjadikannya sarana pemuasan ego, relasi bisa dilihat sebagai kesempatan untuk bercermin.

Saat kita merasa marah pada pasangan, mungkin itu cermin dari luka lama yang belum pulih.

Saat kita merasa iri pada teman, mungkin itu cermin dari ketidakpercayaan pada diri sendiri, insecurity.

Saat kita merasa takut kehilangan, mungkin itu cermin dari rasa tidak aman yang kita bawa sejak kecil.

Dengan menyadari ini, relasi berubah menjadi ruang belajar. Relasi bukan lagi tempat kita mencari perlindungan semu, tapi jalan untuk mengenal diri sendiri lebih dalam.

Berani Melihat Diri Sendiri di Cermin

Membuka diri dalam relasi memang tidak mudah. Tidak ada yang suka melihat diri sendiri “kurang indah” di cermin. Tapi justru dari situlah tumbuh kesadaran.

Mungkin inilah tantangan sekaligus hadiah dari relasi: Relasi mengajarkan kita untuk menyingkirkan tembok, menatap cermin dengan jujur, dan akhirnya mengenal siapa diri kita sebenarnya. Menyadari hakikat diri kita.

Mental Health, Mindfulness, Psychology, Relationship, Self Improvement
3 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan