Non-Dualitas: Damai dan Bahagia adalah Hakikat Diri Kita

3 menit baca

Meski udah mendapatkan yang dulu kita inginkan (pasangan, pekerjaan, pencapaian), maka kita akan tetap saja kembali merasa kosong. Kenapa begitu ya?

Pernah nggak, merasa udah mendapatkan yang kamu inginkan, tapi tetap ada ruang kosong di dalam hati?

Punya pasangan, karier oke, bisa liburan ke mana pun, tapi entah kenapa, ada rasa yang seperti belum lengkap. Seolah-olah kita masih kurang sesuatu, tapi nggak jelas apa.

Sebagian besar dari kita bereaksi terhadap rasa kosong itu dengan terus “mencari”. Mencoba pengalaman baru, membeli barang baru, mencari validasi, atau berharap seseorang datang untuk mengisi ruang itu. Dan kadang berhasil sih. Kosong terisi, enggak merasa kosong lagi, tapi cuma sebentar. Sampai rasa kosong itu datang lagi.

Bagaimana kalau selama ini kita salah total soal kebahagiaan, soal pemulihan? Bagaimana kalau yang kita kejar pagi-malam itu, sebenarnya enggak pernah hilang, dan justru makin menjauh setiap kali kita berusaha mengejarnya?

Apa Itu Non-Dualitas?

Non-dualitas bukanlah pengetahuan baru atau ilmu khusus yang hanya dimiliki orang tertentu. Non-dualitas adalah melihat kenyataan apa adanya, tanpa tambahan asumsi, prasangka, ingatan atau perasaan yang kita tempelkan selama ini.

Non-dualitas menjawab 2 pertanyaan besar dalam kehidupan manusia:

  1. Bagaimana kita bisa terbebas dari penderitaan dan menemukan kedamaian serta kebahagiaan yang bertahan lama, yang sebenarnya semua orang cari di atas segalanya?
  2. Apa sebenarnya hakikat realitas ini?

Kebahagiaan yang Sebenarnya itu Senantiasa Ada

Tentang pertanyaan pertama, non-dualitas mengatakan bahwa damai dan bahagia bukan sesuatu yang harus dicari ke luar. Itu adalah sifat dasar kita. Bahkan, bisa dikatakan: kita sendiri adalah kedamaian itu.

Non-dualitas mengajak kita mempertanyakan: Bagaimana kalau kebahagiaan itu sebenarnya bukan sesuatu yang harus dicari?

Bagaimana kalau kebahagiaan itu sudah ada di sini-kini, bahkan sebelum kita berusaha mencapainya?

Bayangkan seperti matahari. Kadang tertutup awan, tapi tidak pernah benar-benar hilang. Kita cuma tidak melihatnya. Begitu juga kedamaian dan kebahagiaan. Itu sifat dasar kita. Hakikat kita. Kita adalah kedamaian dan kebahagiaan itu sendiri.

Masalahnya, kita sering mengira kedamaian dan kebahagiaan itu hilang, itu sesuatu yang terpisah jauh dari diri kita, sehingga kita harus sibuk mencarinya di luar. Kita berharap pada pekerjaan, pasangan, kesuksesan, barang yang kita punya, atau bahkan “versi diri yang lebih baik” di masa depan. Padahal, kebahagiaan itu senantiasa ada, enggak pernah hilang. Kitanya aja yang enggak jernih melihat siapa diri ini sebenarnya.

Kenapa Kita Tidak Menyadarinya?

Coba perhatikan: setiap orang punya rasa “aku ada”. Bahkan anak kecil pun tahu dirinya ada, tanpa perlu diberitahu. Tapi tidak semua orang benar-benar mengenal dirinya.

Karena tidak mengenal diri, kita merasa kurang. Rasa kurang ini membuat kita mencari di luar: lewat pencapaian, validasi, atau hiburan. Dan meski kadang menyenangkan, itu seperti minum air laut: semakin banyak kita minum, justru semakin haus kita.

Mungkin kamu membaca ini karena sudah cukup sering mencoba berbagai cara mencari kebahagiaan di luar, tapi tetap merasa ada yang mengganjal. Non-dualitas mengajak kita: untuk benar-benar damai, pulih dan bahagia, kita perlu pulang ke sumbernya, yaitu diri kita sendiri.

Realitas: Satu Kesatuan, Bukan Potongan-Potongan

Dari sini, masuk ke pertanyaan kedua: apa hakikat realitas?

Kalau kita sudah mulai mengenal diri, kita juga akan melihat dunia dengan cara berbeda. Non-dualitas melihat realitas sebagai satu kesatuan tak terbagi. Segala sesuatu: orang, benda, peristiwa… sebenarnya muncul dari satu ruang kesadaran yang sama.

Masalahnya, kita melihat dunia lewat pikiran. Dan pikiran akan selalu memberi gambaran yang terdistorsi. Seperti melihat dunia lewat kaca mata kotor, yang kita lihat akan kabur.

Makanya, mengenal diri sendiri adalah “proyek” paling penting dalam hidup. Karena begitu kita tahu apa itu pikiran, apa itu kesadaran, mengenal hakikat diri, maka kita bisa melihat segala sesuatu dengan jelas.

Ajaran Lama yang Selalu Relevan

Walaupun istilahnya “non-dualitas” terdengar modern, ini bukan hal baru. Semua tradisi spiritual selalu kembali ke satu hal: penyelidikan tentang diri. Hanya bahasanya berbeda-beda:

  • Sufi: “Barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya.”
  • Injil Yohanes: “Aku dan Bapa adalah satu.”
  • Buddhisme: “Samsara dan Nirvana adalah satu.”

Semua mengarah pada satu hal: kenali dirimu. Karena dari sanalah kedamaian secara individu muncul, dan dari kedamaian individu itulah lahir kedamaian bersama.

Menutup Pencarian, Memulai Kesadaran

Non-dualitas bukan soal menambah pengetahuan, tapi menyadari yang senantiasa ada di balik kabut dan awan. Kabut dan awan menutupi apa yang sudah ada.

Bukan soal menemukan hal baru, tapi menyadari: yang kita cari sebenarnya tidak pernah pergi.

Mungkin pertanyaannya sekarang bukan lagi “Bagaimana cara menemukan kebahagiaan?”, tapi “Siapa sih sebenarnya yang mencari itu?”

Dan ketika pertanyaan itu dijawab lewat pengalaman langsung, bukan teori, pencarian itu berhenti. Yang tersisa hanyalah kehadiran yang tenang. Seperti pulang, dan bahkan sadar: kita tidak pernah benar-benar meninggalkan rumah.

Mental Health, Mindfulness, Psychology, Self Improvement, Spirituality
3 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan