Seni Relasi Sehat: Ketika Jarak “Aku” dan “Kamu” Lenyap

2 menit baca

Pernahkah ada momen kamu menyadari jarak antara kamu dan orang lain seakan lenyap? Ini bukan soal kamu sedang dekat dengan dia secara fisik. Tapi ini tentang jarak psikis yang benar-benar lenyap.

Bisa saat memeluk seseorang yang sangat kamu rindukan, atau saat menatap mata orang yang kamu cintai, atau pun saat kamu dan dia berjauhan secara fisik, tapi sangat berdekatan secara batin. Dalam sekejap, tak ada lagi “aku” dan “kamu”. Yang ada hanya “kita”, ruang kesadaran yang sangat lapang, satu keutuhan kesadaran.

Bayangkan ini:

Kamu duduk di coffee shop, ngobrol dengan pasanganmu yang udah menjalin hubungan bertahun-tahun. Awalnya penuh basa-basi. Tapi entah bagaimana, pembicaraan mulai dalam. Kamu dan dia saling berbagi cerita yang belum pernah diungkap. Tawa dan air mata muncul begitu saja. Sampai pada titik di mana kamu lupa waktu, lupa tempat, bahkan lupa dirimu sebagai “aku” dan dia sebagai “kamu”.

Yang tersisa hanya rasa hangat, keintiman, dan kedekatan yang sulit dijelaskan.

Itu bukan sekadar momen emosional. Itulah non-dualitas yang menyelinap walau sejenak ke dalam hidup sehari-hari.

Non-dualitas Bukan Pengalaman Elit

Banyak yang mengira kesadaran non-dualitas hanya milik guru spiritual di gunung atau healer yang bermeditasi puluhan tahun maupun yang sudah mengalami spiritual awakening maupun enlightenment. Padahal, realitas non-dualitas sebenarnya adalah kenyataan yang selalu kita alami. Tidak mungkin kita mengalami sesuatu yang “tidak nyata”.

Kita hanya jarang menyadarinya, karena kita terbiasa memandang dunia lewat kacamata budaya materialisme yang memisahkan segalanya, polaritas, fragmentasi: aku di sini, kamu di sana, kelompokku, kelompokmu.

Cinta: Celah di Dinding Dualitas

Saat jatuh cinta, dinding ego “aku” dan “kamu” runtuh. Dalam sekejap, yang kita rasakan hanyalah kedekatan yang dalam, seolah berbagi kehidupan yang sama. Inilah non-dualitas yang diam-diam menyelinap masuk dan membocorkan rahasia besar hidup ini, yaitu: Kita sebenarnya tidak pernah benar-benar terpisah.

Hanya Ada Satu Keutuhan Kesadaran

Di dimensi yang paling dalam, non-dualitas mengatakan: Tidak ada banyak “diri” atau “makhluk” yang benar-benar terpisah. Yang ada hanyalah satu keutuhan kesadaran itu sendiri. Semua perbedaan hanyalah bentuk-bentuk sementara yang sebenarnya semua berasal dari sumber yang sama, yaitu ruang kesadaran, satu keutuhan kesadaran, being, Tuhan, semesta, atau apapun kita menyebutnya.

Seperti layar bioskop yang memunculkan berbagai karakter dan cerita: Lucu, sedih, dramatis, dan sebagainya. Namun layarnya sendiri enggak pernah berubah, senantiasa ajeg, senantiasa ada. Apa pun yang terjadi di atasnya, layar tetap utuh. Enggak pernah terluka. Begitu pula hakikat diri kita.

Pertanyaannya sekarang:

Kalau kenyataan sebenarnya adalah kita mengalami non-dualitas, mengapa kita tidak menyadari non-dualitas itu?

Karena pikiran terus memberi label, sehingga menyebabkan keterpisahan, polaritas, fragmentasi. Kita terlalu percaya bahwa diri kita hanya sebatas tubuh & pikiran. Kita terprogram kaku untuk melihat dunia sebagai arena persaingan. Bukan menyadari orang lain sebagai satu keutuhan.

Emosi dan pikiran yang bising menutupi kesadaran akan keutuhan itu. Dan kita sibuk mencari kebahagiaan di luar: di hubungan, pencapaian, atau harta, jabatan, kekuasaan. Padahal yang kita cari senantiasa ada di dalam diri, tak pernah pergi, di sini-kini. Pencarian eksternal malah bikin kita tidak menyadari kenyataan bahwa kita sudah senantiasa berada di kondisi yang kita cari itu.

Mental Health, Mindfulness, Psychology, Relationship, Self Improvement
2 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan