Menjaga Ketenangan di Tengah Kegaduhan Media Sosial

2 menit baca
Capek lihat berita di media sosial? Peduli itu penting, tapi kalau terus-terusan larut, batin bisa ikut kacau. Kadang yang kita butuh cuma jeda sebentar: tarik napas, hadir, biar mental tetap sehat.

Gelombang Kabar yang Enggak Pernah Usai

Setiap kali membuka media sosial, arus kabar datang tanpa henti. Ada berita politik yang kacau, ada komentar penuh amarah, ada analisis panjang tentang kondisi negara, ada juga drama selebriti. Seolah dunia terus terbakar, dan kita hanya bisa menyaksikannya lewat layar. Saya pun sering merasakan hal yang sama: tubuh terasa lelah, batin sesak, seakan enggak ada ruang untuk bernapas.

Namun, bersamaan dengan rasa lelah itu, muncul perasaan lain: rasa bersalah. Kalau saya memutuskan untuk berhenti membaca kabar, muncul pikiran: “Apakah saya jadi orang yang apatis? Apakah saya tone deaf, tidak peduli penderitaan orang lain?” Batin jadi bimbang: di satu sisi ingin menjaga kesehatan mental, di sisi lain takut dicap tidak peduli.

Antara Peduli dan Tenggelam

Masalahnya bukan pada kepedulian itu sendiri, melainkan pada bagaimana pikiran kita menanggapi kabar yang terus bergulir. Pikiran menciptakan ilusi bahwa *semakin banyak saya tahu, semakin besar kepedulian saya terhadap keadaan*. Padahal, justru bisa terjadi sebaliknya: semakin banyak saya larut dalam kabar, semakin kehilangan kualitas kehadiran dan energi.

Peduli itu bukan berarti harus menelan setiap arus informasi. Peduli itu bukan berarti harus menyalakan alarm waspada setiap detik ada berita baru. Peduli yang sesungguhnya itu justru lahir dari batin yang jernih, dari perasaan yang tidak dikuasai kepanikan. Dari situlah tindakan bijak bisa muncul.

Hening di Tengah Badai

Ada ruang hening di dalam diri yang tidak tersentuh oleh hiruk-pikuk dunia. Saat kabar berseliweran dan pikiran terasa kacau, saya belajar untuk kembali ke sana, meski hanya sebentar. Mengalihkan perhatian dari layar, menyadari napas, menyadari tubuh, atau sekadar duduk diam tanpa melakukan apa pun.

Di momen-momen sederhana itu, kita menyadari sesuatu yang berbeda: Dunia luar tetap bergolak, tapi batin kita tidak ikut terseret. Kita juga menyadari: Keheningan bukanlah lari dari kenyataan. Keheningan justru memberi kita kekuatan untuk sadar lebih penuh, hadir lebih utuh.

Kabar Bukan Diri Kita

Ingatlah, kabar yang berganti setiap detik itu bukanlah diri kita. Pikiran yang panik, perasaan bersalah, dan dorongan untuk selalu update, hanyalah aliran mental yang muncul dan pergi. Hakikat diri kita lebih dalam dari semua itu: Ruang kesadaran yang selalu tenang, selalu utuh.

Ketika kita terhubung dengan kesadaran itu, kita bisa tetap membaca kabar tanpa hanyut, bisa peduli tanpa kehilangan keseimbangan. Kita bisa menutup layar tanpa dihantui rasa bersalah, karena tahu bahwa kepedulian tidak diukur dari seberapa sering kita scroll, melainkan dari kualitas kehadiran dan kesadaran ketika kita benar-benar bertindak.

Jalan Sunyi di Tengah Riuh

Dunia luar akan selalu riuh. Politik akan selalu gaduh, kabar akan selalu berganti. Tapi kita punya pilihan: ikut terombang-ambing, atau kembali terhubung dengan ruang hening di dalam diri.

Bagi saya, itu bukan soal apatis atau peduli, melainkan tentang menemukan keseimbangan. Keselarasan. Cukup sadar untuk tahu apa yang sedang terjadi, namun cukup sadar juga untuk tidak kehilangan diri sendiri. Karena hanya dari batin yang tenanglah, kepedulian yang sesungguhnya bisa tumbuh.

Mental Health, Mindfulness, Psychology, Self Improvement, Spirituality
2 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan