Kamu udah nonton film Marriage Story (2019)?
Saya teringat kisah Charlie dan Nicole, yang pernah sangat dekat, tapi kemudian mulai berlebihan berhati-hati dalam berbicara. Karena apa? Karena ketakutan akan reaksi pasangannya. Di balik percakapan yang tampak tenang, ada jarak emosional yang makin melebar. Mereka lebih fokus menghindari kesalahan daripada membangun keterhubungan. Dan di situlah, tanpa disadari, hubungan kehilangan rasa aman yang sebenarnya menjadi pondasi hubungan cinta yang sehat.
Rasa Takut yang Mengubah Wajah Hubungan
Coba bayangkan bagaimana rasanya berada dalam hubungan di mana setiap kata dan tindakan seperti berjalan di atas lantai kaca yang tipis. Ada rasa cemas yang mungkin tidak besar tapi terus-terusan. Takut salah bicara, takut salah bertindak, bahkan takut salah mengekspresikan diri. Alih-alih menjadi ruang aman, hubungan yang seharusnya membawa rasa tenang justru berubah menjadi semacam ujian yang selalu penuh kewaspadaan.
Dari Mana Rasa Takut Ini Berasal?
Ketakutan seperti ini biasanya tidak muncul begitu saja. Sering kali, akarnya ada pada pengalaman emosional masa lalu yang kurang aman. Mungkin seseorang tumbuh dalam lingkungan yang penuh kritik, sering diremehkan, atau dihukum setiap kali melakukan kesalahan. Luka-luka lama itu terbawa ke dalam hubungan, sehingga ketika rasa aman psikologis tidak hadir, pikiran bekerja seperti alarm yang selalu menyala. Segala sesuatu dibaca sebagai potensi bahaya, bahkan hal-hal kecil sekalipun.
Dampak Psikologis
Saya melihat dampaknya begitu jelas. Kehangatan dalam interaksi perlahan digantikan oleh kewaspadaan berlebihan. Seseorang jadi lebih sibuk menghindari kesalahan daripada menikmati kebersamaan. Percakapan kehilangan spontanitas. Keterbukaan yang seharusnya menjadi pondasi kedekatan berubah menjadi komunikasi dangkal, penuh sensor diri, dan akhirnya keintiman pun terkikis. Lebih jauh lagi, kondisi ini menciptakan beban mental yang berat. Pikiran terus-menerus bekerja, menyeleksi diri sebelum bicara atau bertindak, akibatnya energi emosional habis hanya untuk bertahan.
Jalan untuk Memulihkan Rasa Aman
Tapi bukan berarti situasi ini tidak bisa dipulihkan. Rasa aman dalam hubungan bisa dibangun kembali, meski tentu membutuhkan kesadaran dan upaya dari kedua belah pihak. Langkah awal yang penting adalah menciptakan ruang aman. Ruang di mana tidak ada hukuman atau kekerasan ketika perbedaan dan kesalahan muncul. Dari sana, validasi perasaan menjadi kunci. Mengakui rasa takut yang hadir, baik pada diri sendiri maupun pasangan, akan membuka jalan bagi percakapan yang lebih jujur.
Komunikasi yang terbuka dan menenangkan juga sangat diperlukan. Pertanyaan sederhana seperti, *“Apa yang kamu butuhkan supaya merasa aman untuk bicara?”* bisa membuka pintu untuk saling memahami lebih dalam. Dan yang enggak kalah penting, sebatas menurut saya, adalah melepaskan perfeksionisme. Hubungan yang sehat bukanlah hubungan tanpa konflik, melainkan hubungan yang mampu melewati konflik tanpa kehilangan rasa saling menghormati.
Menjadikan Hubungan Sebagai Ruang Pulang
Pada akhirnya, saya melihat bahwa rasa aman psikologis dalam hubungan adalah fondasi. Tanpa itu, hubungan mudah retak meski di luar tampak baik-baik saja. Dengan itu, hubungan menjadi tempat pulang. Ruang di mana kita bisa benar-benar jadi diri seapaadanya, tanpa rasa takut berbuat salah.
Dan mungkin di titik ini, pertanyaannya kembali ke kita masing-masing:
Apakah hubungan yang sedang dijalani saat ini terasa seperti ruang pulang yang tenang, atau justru seperti ruang menakutkan? Apakah ada cukup rasa aman untuk bisa jadi diri sendiri, tanpa khawatir disalahkan?
Kadang, bukan soal siapa yang paling benar atau salah, melainkan apakah berdua sama-sama mau menciptakan ruang aman untuk tumbuh. Sebab hubungan yang sehat bukanlah hubungan yang sempurna tanpa cela, melainkan hubungan yang sanggup melewati ketidaksempurnaan dengan tetap saling menghormati dan menyadari bahwa di kedalaman: “Aku adalah kamu, kamu adalah aku.”