5 Luka Keluarga: Trauma Masa Kecil yang Sering Tak Disadari

3 menit baca

Sejak lahir, dunia yang saya kenal adalah rumah bersama ibu. Hanya ada saya, ibu dan 2 kakak. Bapak tidak tinggal bersama kami. Saya tumbuh besar tanpa pernah benar-benar merasakan bagaimana rasanya punya seorang bapak di rumah. Tidak tersimpan sedikit pun di ingatan saya: Bapak mengantar ke sekolah, menyapa ketika pulang sekolah, menemani belajar, atau sekadar duduk diam menonton televisi bersama.

Bukan berarti masa kecil tidak ada cinta. Ibu mencurahkan segalanya untuk saya. Tapi tetap saja, ada ruang kosong yang sulit saya jelaskan. Ruang itu kadang terasa seperti pertanyaan yang tidak punya jawaban: *“Mengapa berbeda dari keluarga lain?”* Saat melihat teman-teman jalan bersama bapaknya, saya hanya bisa menyimpan rasa iri dalam hati.

Dari situ, seiring waktu saya mulai mengerti, ada sesuatu yang disebut “luka keluarga.” Luka yang tidak selalu terlihat dari luar, tapi terasa dari dalam. Luka keluarga bukan hanya tentang perceraian atau perpisahan. Luka juga bisa hadir dalam bentuk konflik yang tak kunjung reda di rumah, orang tua yang secara fisik ada tapi tidak sadar penuh hadir utuh menemani anak, atau bahkan pola-pola samar seperti parentifikasi, yaitu saat anak dipaksa menjadi “orang tua” bagi orang tuanya sendiri. Kadang juga berupa gaslighting yang tidak begitu tampak, ketika kenyataan yang dirasakan anak dibuat seolah-olah tidak benar.

Semua ini meninggalkan jejak di dalam diri. Luka keluarga bukan sekadar cerita masa lalu, tapi sesuatu yang bisa ikut menentukan bagaimana kita melihat diri sendiri, bagaimana kita mencintai, bahkan bagaimana kita mempercayai orang lain.

Bentuk-Bentuk Luka Keluarga

1. Perceraian

Perceraian sering meninggalkan jejak yang dalam bagi anak. Bukan hanya soal kedua orang tua yang tidak lagi tinggal serumah, tapi juga rasa kehilangan perasaan “rumah” yang utuh. Anak sering bertanya dalam hati: ”Kenapa mereka tidak bisa tetap bersama? Apa ini salahku?”

Walau dari sisi orang dewasa tentu tahu perceraian adalah keputusan orang tua, ada banyak pertimbangan sehingga keputusan bercerai adalah keputusan yang dirasa terbaik. Tapi hati seorang anak belum tentu mampu memahami. Sehingga yang tersisa adalah rasa goyah, limbung, seperti tanah di bawah lenyap, tidak ada pijakan.

2. Konflik Kronis

Ada keluarga yang tampak di luarnya baik-baik saja, tapi di dalamnya selalu penuh suara pertengkaran. Konflik yang terus berulang, entah soal ekonomi, perbedaan pendapat, atau karena luka batin masa lalu yang dibawa masing-masing orang tua. Ini menciptakan suasana rumah yang tidak aman. Anak mungkin tidak terlibat langsung, tapi tubuhnya merekam: jantung berdebar setiap mendengar suara keras, perasaan waspada setiap kali pulang ke rumah.

Rumah yang seharusnya jadi tempat beristirahat, malah berubah menjadi penuh ketegangan.

3. Absen Emosional

Ada orang tua yang hadir secara fisik, tapi batinnya jauh. Mereka sibuk bekerja, kelelahan, atau terjebak dalam luka batin masa lalu mereka sendiri. Anak bisa saja mendapatkan segala yang dibutuhkan bahkan yang diinginkan, tapi tidak mendapat perhatian yang hangat. Tidak ada pelukan, tidak ada tatapan mata orang tua yang benar-benar melihat anak.

Absen emosional bisa sampai membuat anak merasa sendirian di tengah kebersamaan. Seakan berkata dalam hati: ”Aku ada, tapi tidak dilihat orang tuaku.”

4. Parentifikasi

Kadang, luka muncul ketika peran dalam keluarga terbalik. Anak yang seharusnya dirawat, justru harus merawat orang tua. Anak yang seharusnya dipikul, justru memikul. Misalnya, anak dipaksa menjadi tempat curhat orang tua secara berlebihan dan belum waktunya, menjadi penengah pertengkaran, atau bahkan mengurus adik-adiknya karena orang tua tidak mampu.

Di permukaan, anak terlihat “dewasa sebelum waktunya”. Tapi di dalam hati, anak kehilangan masa kecilnya. Ada rasa lelah yang terlalu berat untuk usia yang masih terlalu muda.

5. Gaslighting Halus

Tidak semua luka datang dari teriakan. Ada juga luka yang terjadi dengan cara lebih samar. Misalnya ketika anak berkata, *“Aku sedih,”* lalu orang tua menjawab, *“Ah, kamu lebay. Itu cuma perasaanmu saja.”*

Pelan-pelan, anak belajar meragukan dirinya sendiri. Apa yang dirasakan dianggap tidak valid. Ia tumbuh dengan perasaan bingung: tidak yakin pada perasaannya sendiri, tidak percaya pada dirinya sendiri. Luka semacam ini memang tidak tampak jelas, tapi efeknya bisa lama sekali menetap.

Setiap keluarga punya cerita. Ada yang tampak baik-baik saja dari luar, tapi di dalamnya menyimpan luka. Ada pula yang dari luarnya saja sudah jelas terlihat tidak baik-baik. Apa pun bentuknya, luka keluarga adalah sesuatu yang nyata dan sering diwariskan tanpa sadar dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Namun, luka tidak selalu berarti akhir dari segalanya. Luka bisa menjadi awal, menjadi pintu yang membawa kita untuk mengenal diri lebih dalam, untuk memahami mengapa kita merasa dan bertindak seperti sekarang.

Mungkin perjalanan ini terasa berat: menengok masa lalu, menghadapi rasa sakit yang selama ini disembunyikan. Tapi justru dengan keberanian melihatnya, kita membuka jalan menuju pemulihan. Karena pada akhirnya, bukan luka yang menentukan siapa kita, melainkan bagaimana kita berhubungan dengan luka itu, bagaimana kita berhubungan dengan diri kita sendiri.

Mental Health, Mindfulness, Psychology, Relationship, Self Improvement
3 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan