Sejak kecil, barangkali setiap kita pernah mengalami satu momen yang sampai sekarang terus kita ingat. Tidak selalu momen besar seperti peristiwa kecelakaan atau bencana. Justru sebaliknya, momen itu bisa jadi kelihatan sederhana, bahkan begitu biasa, hingga mungkin orang lain enggak akan menganggapnya penting.
Mungkin kamu waktu itu masih SD. Pulang sekolah, pernah bawa nilai ulangan yang nilainya enggak terlalu bagus. Dengan harapan, memberanikan diri menunjukkan ke orang tua. Yang kamu dapat bukan pelukan atau kalimat penyemangat, melainkan wajah kecewa dan kata-kata dingin: ”Kamu kok begini terus, sih? Belajar yang bener!”
Sekilas memang tampak sepele. Tidak ada bentakan keras, tidak ada pukulan. Tapi entah kenapa, hatimu seperti diremuk dari dalam. Ada rasa takut, malu, dan pelan-pelan muncul keyakinan: ”Kalau aku nggak berprestasi, aku nggak layak dicintai.”
Itu terus kamu bawa hingga remaja, bahkan sekarang sudah dewasa. Setiap kali ada kegagalan kecil, tubuh seperti otomatis kaku, jantung berdegup cepat, pikiran penuh cemas: ”Aku pasti mengecewakan orang lain lagi.”
Di titik itu kita baru sadar: Trauma bukan sekadar soal kejadian masa lalu. Trauma adalah jejak yang tertinggal di dalam diri. Jejak itu melekat di tubuh, sehingga membuat tubuh mudah terpicu oleh hal kecil. Jejak itu mengganggu rasa aman, membuat sulit percaya kalau diri ini cukup apa adanya.
Trauma bukan tentang apa yang terjadi, melainkan tentang apa yang tersimpan. Ada orang yang mengalami peristiwa besar, tapi bisa pulih dengan cepat. Ada juga yang “hanya” mengalami tatapan dingin, kalimat tajam, atau orang tua yang tidak hadir secara emosional ketika masa kecilnya, tapi jejak luka juga menetap lama, mengiringi perjalanan hidupnya. Dan di situlah letak luka yang sering tak terlihat. Kita berjalan ke masa depan, tapi bagian dari diri masih terikat di masa lalu.
Trauma dan Jejak dalam Diri
Menurut Gabor Maté, di bukunya berjudul The Myth of Normal: Trauma, Illness, and Healing in a Toxic Culture:
Trauma is not what happens to you but what happens inside you.
Jejak yang berdiam di tubuh, di sistem saraf, dan diam-diam mengatur cara kita merasa aman, melihat diri, bahkan mencintai orang lain.
- Sistem Saraf yang Gampang Terpicu
Tubuh kita punya sistem saraf yang dirancang untuk melindungi. Begitu merasa terancam, otomatis tubuh masuk ke mode siaga: jantung berdebar, otot menegang, napas menjadi pendek. Pada orang yang pernah terluka, sistem saraf ini bisa menjadi terlalu sensitif. Hal kecil saja, seperti nada bicara yang meninggi atau ekspresi wajah kecewa, langsung memicu reaksi seolah bahaya besar sedang datang. Tubuh bereaksi berlebihan, bukan karena lemah, tapi karena jejak lama masih tersimpan di dalam.
- Rasa Aman yang Rapuh
Trauma mengganggu pondasi paling dasar manusia: rasa aman. Bagi anak kecil, rasa aman seharusnya hadir lewat pelukan, perhatian, dan kehadiran orang tua. Tapi bila kebutuhan itu enggak tercukupi, anak belajar hidup dalam kewaspadaan yang berlebihan. Saat dewasa, kewaspadaan itu berubah menjadi kesulitan percaya. Selalu ada rasa was-was, insecure, sulit rileks, sulit merasa benar-benar aman.
- Memahami Diri yang Tidak Tepat
Trauma juga membentuk keyakinan tentang siapa diri kita. Kata-kata dingin yang ditujukan kepada dirinya bisa menjelma jadi keyakinan: ”Aku tidak cukup baik.” Sikap seseorang yang tidak sesuai keinginan bisa dipahami sebagai: ”Aku tidak layak dicintai.”Akibatnya, terbentuklah pola hidup yang penuh pencarian: mencari validasi, sibuk membuktikan diri, atau justru menarik diri karena takut ditolak.
Jejak trauma seperti bayangan yang terus mengikuti. Kadang samar, kadang terasa begitu jelas. Dan yang paling menyakitkan: seringkali kita bahkan tidak sadar kalau bayangan itu sedang mengendalikan cara kita bereaksi dalam menjalani hidup ini.
Belajar tentang trauma bukan tentang menyalahkan masa lalu, tapi menyadari bahwa ada luka yang tersimpan. Luka itu mungkin tidak terlihat, tapi nyata dampaknya. Dengan menyadari keberadaannya, kita bisa mulai memberi ruang bagi diri sendiri untuk pulih.
Trauma bukan akhir dari segalanya. Luka hanyalah bagian dari perjalanan. Jejak yang dulu menyakitkan bisa menjadi pintu untuk mengenali diri lebih dalam. Ketika mulai sadar bahwa luka itu masih tersimpan, kita diberi kesempatan untuk melihat lebih dalam bahwa diri ini tidak sebatas luka. Ada ruang di dalam diri yang tetap utuh, senantiasa tidak terluka, dan tetap mampu merangkul bagian yang terluka.
Pulih bukan berarti menghapus masa lalu. Pulih berarti belajar hidup bersama jejak itu dengan lebih sehat. Seperti tubuh yang pernah patah tulang, bekas retaknya mungkin masih ada, tapi bisa tumbuh lebih kuat. Begitu pula dengan batin. Bekas luka bisa menjadi pengingat bahwa kita pernah jatuh, sekaligus bukti bahwa kita mampu bangkit.
Di sinilah perjalanan pemulihan dimulai: bukan untuk melupakan, melainkan untuk menyadari kembali rasa aman, belajar mempercayai hidup, dan terhubung dengan hakikat diri yang lebih utuh. Dari luka, lahirlah peluang untuk pulih. Dari pulih, lahirlah ruang untuk mencintai. Seperti kutipan indah dari Jalaluddin Rumi:
The wound is the place where the Light enters you.