Belajar Kesadaran: Membantu Memulihkan Trauma

3 menit baca

Selama ini menjalani hidup, kamu beneran sadar… atau autopilot, kayak zombie?

Iya, kamu wakeful, tapi apakah kamu mindful?

Seringkali kita mengira sudah “sadar”.

Misalnya, saat marah lalu bilang, “Aku sadar kok kalau aku lagi marah.” Atau ketika sedih lalu merasa, “Aku tahu perasaanku sekarang.”

Tapi, pernahkah kamu perhatikan…

Saat marah atau sedih itu terjadi, apakah benar benar ada kesadaran? Atau justru kita larut terseret begitu saja, dan baru sadar setelah reda, setelah berlalu?

Saya pun sering mengalami hal itu. Saat sedang kesal, rasanya terbawa arus. Baru setelah emosi mereda, saya bisa bilang, “Tadi aku kesal banget.”

Jadi, apakah itu benar-benar sadar, atau hanya menyadari ingatan tentang emosi?

Kesadaran dimulai dari hal yang sederhana. Dimulai dari dasar. Misalnya, melihat bunga. Kita melihat warnanya, mencium aromanya. Atau mendengar suara burung. Itu adalah kesadaran indrawi. Melihat, mendengar, mencium aroma.

Kalau berhenti hanya sampai di kesadaran indrawi, tidak ada masalah.

Kita hanya melihat apa adanya, tanpa komentar, tanpa drama di pikiran. Seperti saat menatap langit biru, hanya ada langit. Tidak lebih. Tapi biasanya, kita jarang berhenti di situ.

Biasanya, pikiran menambahkan cerita. Pernahkah kamu melihat pohon lalu tiba-tiba muncul komentar di kepala?

“Pohon ini mirip dengan yang ada di rumah masa kecilku.” “Daunnya indah sekali, aku suka.” “Aduh, ini pohon yang bikin inget mantanku.”

Komentar-komentar itu adalah reaksi psikologis.

Di situlah muncul “aku”. Si penilai, si pemberi komentar, si penghubung dengan ingatan masa lalu. Kita tidak lagi melihat pohon apa adanya, tapi melihat lewat kacamata filter ingatan masa lalu, pengalaman, dan penilaian pribadi.

Di titik itulah terpecah: Ada “aku” dan ada “bukan aku”. Ada jarak antara “subyek sebagai pengamat” dengan “obyek yang diamati”. Itu menyebabkan konflik batin, trauma jadi tidak pulih, rasa terpisah dari dunia, dan akhirnya penderitaan.

Jadi kesadaran sejati (pure awareness) itu sebenarnya gimana?

Melihat tanpa menambahkan cerita drama pikiran. Mengamati tanpa penilaian & penghakiman. Sekadar hadir mengalami tanpa membawa masa lalu.

Contoh: Ketika melihat pohon. Tidak ada komentar di kepala, tidak ada penilaian suka/tidak suka, tidak ada kaitan dengan masa kecil, mantan. Hanya melihat. Sekadar hadir. Di momen itu, “aku” lenyap. Yang ada hanyalah kesadaran itu sendiri… dan keheningan.

Sering muncul pertanyaan:

Bisakah kita melepaskan diri dari masa lalu, dari “aku” yang penuh luka dan kenangan? Apa “aku” bisa hilang? Gimana caranya?

Hati-hati dengan pertanyaan itu… Kenapa?

Kalau pertanyaan itu muncul dari si “aku”, maka itu hanya usaha lain dari “aku”, dari ego untuk mempertahankan dirinya. Seperti “aku”, seperti ego yang bilang, “Aku ingin lepas dari aku.” Itu tetaplah permainan yang sama dari “aku”, dari ego.

Yang penting bukan mencari cara untuk menghilangkan “aku”, menghilangkan ego… tapi menyadari geraknya, melihatnya seapaadanya, tanpa terjebak di dalamnya.

Kesadaran bukan hasil dari latihan.

Di zaman sekarang, kita sering menemukan teknik atau metode untuk lebih sadar, lebih mindful. Meditasi, journalingbreathing exercise, dan sebagainya… Iya, semua itu bisa membantu.

Tapi kalau kesadaran dibuat jadi kebiasaan mekanis lewat latihan, maka kesadaran bukan lagi kesadaran, dan berubah jadi sebatas rutinitas.

Kesadaran yang sesungguhnya itu bukan hasil latihan. Kesadaran itu muncul saat kita benar-benar sekadar hadir, tanpa motif apa pun. Tidak untuk menenangkan diri, tidak untuk jadi lebih baik, manifesting, meningkatkan level kesadaran, dan sebagainya. Hanya sadar penuh hadir utuh.

Dan ada saatnya, ketika semua komentar dalam kepala berhenti, muncul kualitas kesadaran yang lebih dalam. Kesadaran yang bahkan tidak sadar bahwa ia sedang sadar. Seperti langit luas tanpa awan, tanpa batas. Seperti layar tanpa film di layar itu. Seperti laut tanpa ombak.

Di saat itu, tidak ada lagi “pengamat” dan “yang diamati”. Tidak ada “aku” yang terpisah.

Hanya ada kehidupan itu sendiri yang sedang berlangsung, sedang mengalir. Di saat itulah yang disebut kecerdasan sejati, hakikat cinta yang sesungguhnya, kesadaran yang hening.

Jadi ringkasnya, kesadaran itu gimana?

Melihat tanpa menambahkan apa pun. Sekadar hadir tanpa komentar, cerita, drama pikiran. Ketika itu terjadi, ada pemulihan, kebebasan, keheningan. Ada hakikat cinta.

Penjelasannya kok bikin bingung ya?

Enggak pa-pa. Sadari aja bingung itu, tanpa menambahkan drama, tanpa menilai. Sekadar hadir bersama bingung itu. Dan mulailah dengan hal sederhana: melihat bunga, mendengarkan musik, menyadari napas, menyadari makan, menyadari jalan.

Mental Health, Mindfulness, Psychology, Self Improvement, Spirituality
3 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan