Ketika Dunia Terlalu Bising
Pernah nggak sih merasa capek banget dengan dunia? Bangun pagi, buka ponsel, isinya berita perang, komentar penuh kebencian, orang pamer pencapaian, politik yang itu-itu lagi. Kadang saya merasa dunia ini seperti keramaian pasar yang penuh teriakan, dan saya cuma ingin menutup telinga. Tapi anehnya, mau nggak mau, saya tetap harus hidup di dalamnya.
Kita tetap harus menjalani hidup saat ini diikuti dengan trauma masa lalu, berhubungan dengan orang-orang di sekitar, kerja, bayar tagihan, dan berbagai macam hal lainnya.
Di sinilah pertanyaannya muncul: Gimana caranya hidup di dunia ini tanpa ikut terseret arus kebisingan dan kekacauan?
Melarikan Diri atau Menghadapi?
Banyak orang mencoba “lari”. Ada yang sibuk mencari ideologi baru, ada yang masuk ke komunitas eksklusif biar merasa aman, ada juga yang sibuk dengan hiburan atau tren supaya bisa lupa sejenak. Saya pun kadang masih begitu: mencari pegangan, metode, atau “rahasia hidup” yang katanya bisa bikin hidup damai. Tapi semakin dicari, semakin terasa seperti terjebak di kandang baru. Dunia lama memang hilang sebentar, tapi diganti oleh dunia buatan yang tak kalah menyesakkan.
Justru ketika kita menjadikan hidup sebagai “masalah” yang harus dipecahkan, kita menciptakan sangkar baru. Hidup jadi semacam kubus rubik yang nggak pernah selesai, padahal kuncinya bukan di solusi, tapi di cara kita melihat.
Dunia di Luar Adalah Cermin Diri Kita
Waktu saya renungkan, dunia yang kacau ini sebenarnya cerminan isi kepala dan hati kita juga. Kekerasan, iri, keserakahan yang kita lihat di luar, semuanya berakar di dalam diri manusia. Kalau kita masih menyimpan kemarahan atau ketakutan, maka kita juga bagian dari kekacauan itu. Dunia bukan “di sana” dan kita “di sini”. Dunia ada di dalam diri kita, dan kita adalah dunia.
Kesadaran ini awalnya bikin saya nggak nyaman. Karena artinya saya nggak bisa lagi sepenuhnya menyalahkan “mereka” di luar sana. Saya harus berani melihat bahwa dunia seperti sekarang karena manusia, termasuk saya, hidup dengan pola lama yang terus diulang.
Bukan Lagi Soal “Seharusnya”
Biasanya kita berpikir begini: “Kalau ada perang, solusinya adalah perdamaian.” “Kalau ada kebencian, solusinya adalah cinta.” Seolah kita perlu berlari ke sisi berlawanan. Tapi itu sebenarnya bukan perubahan sejati. Itu hanya memindahkan masalah ke bentuk baru.
Contohnya sederhana. Ketika saya marah, lalu saya berkata, “Saya harus lebih sabar,” itu masih permainan yang sama. Karena rasa sabar yang dipaksa itu lahir dari keinginan menutupi amarah, bukan dari pengertian mendalam tentang amarah itu sendiri. Seperti menutup bau sampah dengan parfum: sementara wangi, tapi busuknya tetap ada.
Mengamati Tanpa Label
Saat emosi muncul, jangan buru-buru menamainya. Ketika marah, biasanya kita langsung bilang, “Aku marah,” dan identitas itu menempel. Tapi kalau kita diam sejenak, merasakan di tubuh. “Oh, ada panas di dada, ada tegang di rahang,” kita tidak lagi sibuk melawan. Emosi itu muncul, lalu perlahan mereda.
Ini bukan teknik, bukan metode. Lebih seperti sikap yang berani dan mau untuk benar-benar melihat. Dan melihat tanpa label seringkali membuat emosi kehilangan kekuatannya.
Hidup Tanpa Sangkar
Jadi, bagaimana sebenarnya hidup di dunia yang kacau ini? Bukan dengan kabur, bukan dengan membangun tembok, bukan pula dengan mengganti satu ideologi dengan ideologi lain. Jawabannya ada di sini dan sekarang: Berani melihat dunia seapaadanya, berani melihat diri sendiri tanpa ilusi.
Dan ketika kita bisa menolak kekacauan bukan karena takut atau lari, tapi karena benar-benar mengerti sumbernya, barulah kita bebas. Kebebasan itu bukan berarti dunia tiba-tiba jadi baik, tapi kita tidak lagi hidup di dalam sangkar kebingungan.
Tentu saya tidak bilang ini mudah. Tapi justru di situlah letak keindahannya: bahwa setiap momen, setiap interaksi, setiap emosi, adalah kesempatan untuk melihat lagi: siapa sebenarnya diri ini, dan bagaimana kita menciptakan dunia yang kita keluhkan.