Bayangkan tubuh seperti hard disk komputer, yang menyimpan emosi lama yang belum selesai diurai.
Pernah suatu sore saya sedang duduk santai, membaca buku. Tidak ada yang istimewa. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibanting cukup keras. Seketika tubuh saya menegang. Jantung berdegup lebih cepat. Pikiran langsung curiga: “Ada yang marah, ya?”
Padahal, orang yang menutup pintu itu mungkin hanya terburu-buru. Tidak ada maksud apa-apa. Tapi anehnya, reaksi dalam tubuh saya berlebihan. Seolah ada alarm darurat yang berbunyi: hati jadi waspada, pikiran siaga, tubuh bersiap menghadapi sesuatu yang mengancam.
Setelah mereda, saya merenung, reaksi saya itu bukan tentang pintu. Itu tentang masa lalu. Dulu, suara pintu dibanting sering jadi pertanda pertengkaran di rumah. Suara itu menempel di memori saya sebagai sinyal bahaya. Maka, setiap kali mendengar suara yang mirip, tubuh ini otomatis mengaktifkan pola lama: takut, cemas, dan tegang.
Apa Itu “Tubuh yang Menyimpan Trauma”?
Eckhart Tolle menyebut perihal “tubuh yang menyimpan trauma” sebagai “pain-body”. Bessel van der Kolk membahas hal ini di bukunya yang berjudul “The Body Keeps the Score”.
Bayangkan tubuh seperti hard disk komputer, yang menyimpan emosi lama yang belum selesai diurai. Marah, takut, sedih, atau malu yang dulu pernah dialami, tidak lenyap begitu saja. Mereka tersimpan di tubuh, yang sewaktu-waktu “file” itu bisa terbuka ketika ada kejadian yang memicunya.
Pemicu bisa sederhana: nada suara keras, tatapan tertentu, alunan musik, aroma parfum, bahkan bau makanan yang mengingatkan pada suasana masa kecil. Begitu ada trigger, tubuh bereaksi seakan-akan masa lalu sedang terjadi lagi sekarang. Padahal kenyataannya tidak begitu.
Luka Masa Lalu di Kehidupan Masa Sekarang
Di dunia hari ini, pain-body bisa aktif kapan saja. Misalnya, pasangan telat membalas pesan, lalu muncul perasaan ditinggalkan. Atau saat bos menatap dengan wajah serius, dada terasa sesak, padahal mungkin ia sedang ada masalah rumah tangga. Bahkan melihat unggahan orang lain di media sosial bisa membuat hati tersulut, bukan karena unggahan itu sendiri, tapi karena menyentuh luka lama di dalam diri.
Kita jadi mudah salah paham. Reaksi emosional terasa begitu nyata, padahal seringkali yang kita lawan bukan orang di depan mata, melainkan bayangan masa lalu yang hidup kembali.
Mengapa Penting Disadari?
Yang membuat pain-body berbahaya adalah ketika kita tidak menyadarinya. Ia mengambil alih, membuat kita meledak, tersinggung, atau menarik diri tanpa alasan yang jelas. Reaksi jadi lebih drama daripada peristiwa sebenarnya.
Tapi saat kita berhenti sejenak dan menyadari, “Oh, ini pola lama yang sedang aktif,” ada ruang terbuka. Ada jarak antara kejadian dan reaksi. Dari jarak itu, kita bisa memilih: tetap larut dalam pola luka lama, atau hadir kembali di momen sekarang.
Bagi saya, kesadaran ini seperti cahaya. Semakin sering kita melihat pain-body ketika ia aktif, semakin ia kehilangan cengkeramannya. Masa lalu mungkin tidak bisa dihapus, tapi ia tidak lagi punya kuasa penuh atas saat ini.
Menutup dengan Pelan
Mengenali pain-body bukan tentang melupakan apa yang pernah terjadi, melainkan tentang memberi ruang agar masa lalu tidak lagi menguasai masa kini. Setiap kali kita hadir, setiap kali kita sadar, luka itu sedikit demi sedikit kehilangan genggamannya.
Dan mungkin, di titik itulah pemulihan perlahan-lahan menemukan jalannya.