Healing dengan Grounding: Menjangkarkan pada Kesadaran yang Memulihkan Trauma

3 menit baca

Trauma bisa membuat kita hanya hidup di kepala. Akibatnya kita terus waspada, terus siaga, seolah tidak pernah benar-benar aman.

Senja itu saya duduk di sebuah taman. Orang-orang sibuk dengan ponselnya, ada juga yang saling berbicara tapi tanpa benar-benar mendengar. Saya memperhatikan langit yang berubah warna, tetapi pikiran saya sendiri justru juga sedang berisik, saling berkejaran, tentang pekerjaan, tentang masa lalu dan masa depan, tentang hal-hal kecil yang terasa besar di pikiran.

Badan saya ada di sini, tapi tidak sepenuhnya diri saya. Saya lebih banyak hidup di dalam pikiran yang di sana: masa lalu dan masa depan.

Pelan saya menarik napas, menghembuskan napas. Udara senja terasa menenangkan. Untuk sesaat, saya berjarak dengan dunia di dalam kepala. Saya tidak berusaha “tenang”, saya hanya menyadari: Ada napas, ada langit senja, ada badan duduk di bangku taman, ada berbagai hal lainnya di sekitar.

Kesadaran itulah yang menghubungkan dengan dimensi di sini-kini, present moment, dimensi being. Dimensi yang sebenarnya senantiasa ada, yang menjadi background semua hal. Dimensi yang selalu lebih luas atas apapun. Semuanya muncul di dalam dimensi itu.

Dan ketika kita terhubung, kita pun pulih.

Pulih yang tidak diciptakan oleh usaha, tapi muncul begitu saja ketika tidak ada yang kita lawan dan kita kejar.

Badan dan Kesadaran: Dua Pintu yang Menuju Rumah yang Sama

Banyak orang memahami grounding sebagai “kembali ke badan”, padahal yang lebih dalam adalah kembali ke dimensi being, ke ruang kesadaran yang menyadari badan. Saat saya menyadari napas, bukan hanya napas yang ada di sana. Ada juga kesadaran yang menyadari napas itu.

Badan memberi jalan, tapi kesadaranlah rumahnya. Kesadaran ini tidak ikut berlari ke sana ke mari bersama pikiran, tidak terseret oleh emosi, tidak terluka secara psikologis oleh apapun yang kita alami.

Kesadaran itu seperti langit, tetap luas lapang, tidak terpengaruh sedikit pun, meski berbagai bentuk dan warna awan bermunculan berlalu lalang.

Disebut “melihat tanpa pengamat” atau “kembali ke hakikat diri, sang penyaksi”. Tapi keduanya berbicara tentang hal yang sama: Hakikat diri, deeper self, true nature yang senantiasa ada di balik segala gerak kehidupan.

Melarikan Diri dari Diri Sendiri

Kita hidup di zaman di mana diam, doing nothing, sering disalahartikan sebagai kemalasan. Sehingga pagi-pagi, tangan langsung meraih hp, pikiran menyalakan mode autopilot, badan bergerak tanpa kesadaran. Kita menatap layar berjam-jam, mencoba merasa “hidup”, padahal sering kali hanyalah memikirkan tentang hidup.

Kita berlari mengejar kondisi tenang dan pulih, padahal justru dalam pelarian itulah kita kehilangan tenang dan pulih yang kita cari.

Oya, grounding tidak meminta kita kabur dari hidup ini, tidak harus liburan, menepi, menjauh dari rutinitas. Melainkan perihal membawa, menghadirkan kesadaran di dalam keseharian.

Saat makan, sadarilah aktivitas makan.

Saat jalan, sadarilah aktivitas jalan.

Saat di jalan, menunggu lampu hijau, sadarilah napas.

Saat mendengar seseorang berbicara, sepenuhnya dengarkan, tanpa sibuk menyiapkan jawaban.

Kehadiran yang sederhana, sekadar hadir di sini-kini, seperti itu sudah cukup untuk membantu memulihkan trauma.

Melihat Tanpa Label, Menyadari Tanpa Mengubah

Ketika ingatan masa lalu beserta emosi yang terkait muncul, biasanya kita langsung melabeli, “Kenangan yang menyakitkan,” atau “Ini perasaan marah,” lalu kita ingin segera menyingkirkannya.

Tapi ketika kita hanya menyadari tanpa melabeli, tanpa menilai, dan hanya memperhatikan sensasi badan, tanpa menghakimi, maka

Yang ada hanya melihat tanpa pengamat, tanpa “aku”. Hanya kesadaran yang menyadari ingatan dan emosi.

Kita mulai melihat sesuatu yang lebih dalam: ada kesadaran yang menyadari ingatan dan emosi itu, dan kesadaran itu sendiri sama sekali tidak terpengaruh ingatan dan emosi. Langit tidak akan terpengaruh awan.

Di situlah pulih yang sesungguhnya. Pulih yang bukan hasil teknik atau metode, tapi akibat alami dari “melihat tanpa pengamat” atau “kembali ke hakikat diri, sang penyaksi”

Tak Perlu Mencari Pulih, Cukup Berhenti Mencarinya

Kita sering berpikir bahwa kondisi pulih kita dapatkan di masa depan. Setelah masalah selesai, setelah liburan, setelah orang lain berubah dan minta maaf, dan sebagainya. Tapi sesungguhnya pulih itu tidak ada di masa depan, karena pulih bukan hasil, bukan akibat. Pulih selalu di sini-kini, di antara satu napas dan napas berikutnya, di antara dua pikiran, dua perasaan yang berkejaran.

Grounding bukan tentang menjadi “lebih tenang”, tapi tentang menyadari bahwa kita tidak pernah benar-benar terpisah dari ketenangan itu.

Diam yang Memulihkan

Mungkin inilah inti dari grounding: bukan hanya menjejak bumi, tapi juga menjangkarkan pada kesadaran. Bukan hanya menyadari badan, tapi juga kembali ke dimensi being, ke ruang kesadaran yang menyadari badan.

Dalam dunia yang terus berlomba bergerak, diam, menjangkarkan pada kesadaran, bukanlah pelarian, tapi bentuk dari keberanian. Karena hanya dalam diam, kita bisa benar-benar melihat. Dan hanya dengan melihat, kita sungguh pulih. Dan kalau kita pulih, barulah kita sungguh hidup.

Life, Mental Health, Mindfulness, Psychology, Self Improvement
3 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan