Aku Bukan Tubuh dan Pikiran, Siapa Aku?

2 menit baca

Kamu pulih ketika kamu mengenal dirimu sendiri yang sesungguhnya. Siapa sesungguhnya “aku”?

Seorang teman cerita ke saya kemarin sore, sambil duduk berdua di teras kecil rumahnya, “Aku pernah ngerasa kehilangan semuanya. Bukan cuma orang, tapi arah. Kayak, apa pun yang dulu aku pikir penting, tiba-tiba jatuh satu-satu. Aku kehilangan pekerjaan, kehilangan hubungan yang aku kira akan jadi selamanya, bahkan kehilangan semangat buat bangun pagi. Dan yang paling nyebelin, aku sampe nggak bisa ‘berpura-pura baik-baik aja’ seperti biasanya.”

Saya baru mau menanggapi, dia lanjutkan ceritanya pelan, “Aku inget, waktu itu, kamu nanya:

“Kalau semua yang kamu pikir kamu butuhin hilang, apa yang tersisa?”

Waktu itu aku kesel. Rasanya kayak ditanya hal yang nggak nyambung sama realita. Tapi sekarang aku ngerti, itu bukan pertanyaan bodoh. Itu pertanyaan penting.”

Lalu dia diam sebentar. Terus bilang begini,

“Karena setelah semua runtuh, dan nggak ada lagi yang bisa aku pegang, ada satu hal yang tetap ada, yaitu kesadaran. Kesadaran yang menyadari aku sedang mengalami semua ini.

Bukan cerita di kepalaku, bukan emosi yang naik turun, tapi sesuatu yang enggak hanyut terseret gejolak pikiran dan perasaan, sesuatu yang senantiasa ada, ajeg. Dan dari situ, pelan-pelan, aku mulai bisa bernapas lagi.

Bukan karena semuanya membaik sesuai keinginanku sih. Tapi karena aku berhenti berasumsi bahwa aku adalah semua yang aku pikirkan dan rasakan.”

Dia senyum kecil, “Mungkin aku merasa kehilangan segalanya. Tapi karenanya aku juga jadi kehilangan ilusi tentang siapa diriku. Dan ternyata, itu bukan akhir. Itu awal.”

Di balik segala pikiran, emosi, dan pengalaman indrawi yang datang dan pergi, ada satu hal yang tidak berubah, yaitu kesadaran. Sang presence yang menyadari segalanya. Itu adalah diri sejati kita.

Kita terbiasa mengira bahwa kita adalah tubuh dan pikiran.

Kita lahir, tumbuh, mengalami suka-duka, menua, lalu mati. Pikiran dan tubuh berubah terus, dan karena kita mengidentifikasi diri dengannya, kita merasa diri kita pun berubah dan terbatas.

Namun, jika diamati lebih dalam, ada sesuatu dalam diri kita yang enggak pernah berubah.

Apa yang enggak pernah berubah sejak masa kecil, remaja, dewasa, dan masa kapan pun itu?

Kesadaran, sang pengamat dari semua pengalaman. Ia tidak menua, tidak sakit, tidak terluka oleh apa pun yang terjadi.

Inilah “essential nature” atau hakikat sejati kita.

Ia tidak memiliki bentuk, formless, tidak lahir dan tidak mati. Ia bukan pikiran. Ia bukan tubuh.

Ia adalah ruang hening dan sangat lapang, seperti langit, tempat seluruh pengalaman muncul dan lenyap.

Karena kesadaran tidak lahir dan tidak mati, maka ia berbeda dengan sifat tubuh dan pikiran.

Tubuh akan menua dan mati. Pikiran bisa kacau, berubah-ubah, terluka. Tapi kesadaran tetap hening, utuh, tak tersentuh. Seperti awan yang enggak akan bisa menyentuh langit.

Inilah pemulihan yang sesungguhnya. Saat kita menyadari bahwa siapa sesungguhnya kita itu enggak terbatas tubuh dan pikiran, serta enggak terikat oleh apa pun.

Yang paling memulihkan dalam hidup ini adalah ketika kita menyadari bahwa diri kita yang sejati, yaitu kesadaran itu sendiri, sang presence, enggak bisa terluka, enggak bisa mati, dan enggak bisa dikurung sebatas tubuh maupun pikiran.

2 menit baca

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hidup Melelahkan Karena Berlebihan Mengejar

Kita terprogram, terkondisi, untuk meraih, mendapatkan. Bahkan saat kita bermeditasi. Seorang teman duduk di sebelah saya sore itu, matanya menatap kosong ke taman. “Sekarang hidupmu gimana?” Tanya saya. Lama diam, sebelum akhirnya berkata pelan: “Kemarin, aku nyuci piring sambil mikir soal hidup. Seperti biasa. Mikirin kenapa hidupku begini, kenapa aku nggak seproduktif temen-temenku, kenapa aku ngerasa mandek. Sampai tiba-tiba… busa...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *