Belajar Memulihkan Trauma: Mendengarkan Badan

3 menit baca

Badan seolah punya program bahasanya sendiri: lewat detak jantung, napas, atau ketegangan di bagian tertentu.

Trauma masa lalu mempengaruhi program itu. Badan sering lebih jujur dari pikiran.

Badan Lebih Dulu Bereaksi

Beberapa waktu lalu saya duduk di sebuah coffee shop, menikmati kopi sambil menunggu teman. Musik pelan terdengar, orang-orang sibuk dengan laptop masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara piring jatuh dari dapur, “prang!” keras sekali. Seketika jantung saya berdegup kencang, napas jadi pendek, badan menegang. Padahal hanya piring pecah, bukan ancaman serius.

Selang beberapa saat, saya baru ingat bahwa memang benar: badan sering kali lebih cepat bereaksi daripada pikiran. Seolah badan punya program bahasanya sendiri, yang tak selalu sejalan dengan logika. Trauma masa lalu mempengaruhi program itu.

Fight, Flight, Freeze, Fawn

Sejak lama, manusia dibekali “alarm bawaan” dalam badan. Saat ada ancaman, sistem saraf otomatis memilih: melawan (fight), lari (flight), membeku (freeze), atau berusaha menyenangkan orang lain demi selamat (fawn).

Kalau dipikir-pikir, refleks itu masih sangat terasa di dunia modern. Misalnya, saat atasan marah di kantor: ada yang melawan balik, ada yang pura-pura sibuk, ada yang mendadak kaku, atau ada juga yang buru-buru minta maaf meski tak salah. Semua itu adalah program bahasa sistem saraf, cara badan berkata: “Aku ingin aman.”

Ruang Hening

Masalahnya, kadang program ini terlalu sensitif. Sedikit pemicu langsung dianggap bahaya. Itulah mengapa penting memahami konsep ruang hening: ruang di mana kita bisa menampung emosi tanpa kewalahan, tetap berpikir jernih, dan terhubung dengan orang lain.

Begitu keluar dari ruang itu, hidup jadi terasa berat: gampang tersinggung, cemas berlebihan, sulit fokus, atau sebaliknya mati rasa dan kosong.

Teori Polivagal

Stephen Porges, seorang ilmuwan saraf, menjelaskan hal ini lewat teori polivagal. Ia menemukan bahwa sistem saraf kita sebenarnya punya tiga mode utama:

1. Mode Aman & Terhubung (Ventral Vagal): badan rileks, napas tenang, bisa bercanda, merasa hangat, bisa mendengar orang lain.

2. Mode Siaga (Sympathetic: Fight/Flight): badan siap bertindak, jantung berdegup kencang, energi naik, muncul dorongan melawan atau kabur.

3. Mode Mati Rasa (Dorsal Vagal: Freeze/Shutdown): badan drop, energi hilang, terasa kosong, ingin menyerah atau numb.

Semua mode ini wajar, karena memang fungsi dasarnya adalah melindungi. Namun, bila kita terlalu lama terjebak di mode siaga atau mati rasa, keseharian jadi penuh tekanan.

Berpindah-pindah Mode

Bayangkan saya masih di kafe tadi. Awalnya santai bersama teman, itu mode aman & terhubung.

Lalu tiba-tiba baca berita di media sosial yang memicu marah. Seketika badan panik, jantung jantung berdegup kencang, pikiran ingin buru-buru ikut berkomentar. Itulah mode siaga.

Setelah panik sebentar, saya menulis komentar. Tapi belum saya klik post, badan malah drop. Layar hp saya tatap tanpa energi, lalu jari-jari otomatis scroll tanpa arah. Itu mode mati rasa.

Semua itu bisa terjadi dalam momen yang tidak lama. Dan itu wajar. Tantangannya bukan menghapus mode itu, melainkan belajar kembali pulang ke mode aman, ke ruang hening.

Jalan Pulang ke Ruang Hening

Untungnya, badan juga bisa “diingatkan” bahwa ia aman. Tips sederhana yang bisa kita lakukan:

  • Sadari napas. Tarik napas, sadari napas masuk. Embuskan napas, sadari napas keluar.
  • Sentuhan menenangkan. Letakkan tangan di perut, tarik napas, sadari perut mengembang. Embuskan napas, sadari perut mengempis.
  • Orientasi ulang. Lihat sekeliling, lihat benda-benda di sekitar. Kalau perlu sebutkan benda-benda itu.

Seperti menekan tombol “home” pada smartphone, hal-hal sederhana ini memberi sinyal pada badan: “Hei, semua baik-baik saja. Kamu aman.”

Mendengarkan Badan

Bagi saya, mendengarkan badan, termasuk memahami teori polivagal, bukan cuma teori. Ini soal hidup sehari-hari. Supaya ketika badan tiba-tiba panik atau drop, saya tidak langsung menyalahkan diri sendiri, tapi bisa berkata: “Oke, badanku sedang merasa tidak aman. Aku tahu jalan pulang, pelan-pelan kita kembali.”

Mendengarkan badan ini semacam peta. Dan semakin kita peka membacanya, semakin mudah kita menemukan jalan pulang ke ruang hening: rasa aman, rasa terhubung, dan sadar penuh hadir utuh.

Health, Life, Mental Health, Psychology, Self Improvement
3 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan