Kamu memaksa diri bertahan di relasi toxic, karena merasa sudah mengorbankan banyak hal? (Sunk Cost Fallacy)
Di ruang pantry kantor yang bau kopi, Nina duduk di kursi sambil menunduk melihat lantai. Hana berdiri di depannya, bersandar ke meja kecil tempat microwave biasa berdengung.
“Lima tahun, Han,” kata Nina, suaranya pelan tapi ada nada getir di dalamnya. “Masa mau gitu aja ditinggal?”
Hana nggak langsung menjawab. Ia membuka tutup tumbler-nya, menyeruput kopi, lalu menatap Nina yang matanya mulai berkaca-kaca.
“Jadi… kamu tetap bertahan karena… sayang lima tahunnya?” tanya Hana hati-hati.
Nina mengangguk. “Bukan cuma itu. Aku udah ngorbanin banyak. Nolak kerjaan di luar kota, jarang pulang kampung karena dia nggak suka ditinggal, nyesuain semuanya biar dia nyaman.”
Dia diam sebentar, lalu menatap Hana. “Kalau aku pergi sekarang, semua itu… jadi buat apa?”
Hana menaruh tumbler-nya, lalu duduk di kursi sebelah, “Tapi kamu masih bahagia, Nin?”
Pertanyaan itu menggantung. Nina nggak langsung jawab. Ia menengok ke arah jendela kecil pantry, di mana gedung-gedung tinggi Jakarta berdiri diam.
“Kadang,” katanya lirih. “Tapi lebih seringnya… kayak jalan di tempat. Aku capek, tapi ngerasa harus terus lari.”
“Capek lari dari siapa?”
“Dari dia. Dari aku sendiri. Dari kenyataan kalau hubungan ini udah nggak sehat, tapi aku masih maksa buat bertahan, buat sehatin.”
Hana mengangguk pelan, “Aku ngerti.”
Nina tersenyum pahit, “Aku ngerasa kayak orang bego. Nunggu dia berubah, padahal tahu itu nggak akan kejadian. Tapi tetap aja nunggu. Karena takut lima tahun jadi sia-sia, takut rugi.”
Hana membetulkan letak jam tangannya, lalu berkata pelan, “Tapi kamu lupa satu hal.”
“Apa?”
“Kalau kamu terus bertahan cuma karena masa lalu… kamu mungkin bakal ngorbanin lima tahun lagi, buat sesuatu yang kamu sendiri tahu udah bikin kamu pelan-pelan kehilangan dirimu sendiri.”
Nina terdiam.
Suara microwave berbunyi di ujung ruangan. Mie instan Nina selesai dipanaskan. Tapi di dalam kepala Nina, sesuatu justru baru mulai mendidih.
“Kalau aku pergi sekarang,” bisiknya, “mungkin memang sakit. Tapi mungkin juga… itu pertama kalinya aku lebih milih diriku sendiri.”
Ada pola pikir yang sangat umum:
“Aku sudah memberikan terlalu banyak dalam hubungan ini, mulai dari waktu, energi, cinta, bahkan mungkin sampai identitasku. Jadi kalau aku pergi sekarang, semua itu sia-sia.”
Inilah yang oleh psikologi disebut sebagai sunk cost fallacy. Tapi mari kita lihat lebih dalam, bukan dari sisi psikologis saja, melainkan dari sisi kesadaran.
Kenyataan yang Sering Dilupakan: Masa Lalu Sudah Berlalu
Satu hal yang ego sangat tidak suka adalah: melepaskan. Ego melekat pada cerita, pada masa lalu, pada memori, pada rasa memiliki, pada “investasi” emosional dan waktu. Ego berkata:
“Ini sudah menjadi bagian dari diriku. Aku tak bisa mundur sekarang.”
Namun dari kesadaran yang lebih dalam, kita bisa melihat bahwa:
Semua yang telah dikorbankan, semua luka, semua waktu yang telah berlalu, itu sudah selesai, sudah berlalu. Itu tidak eksis lagi, kecuali dalam pikiranmu.
Saat kamu berkata, “aku sudah terlalu banyak berkorban,” sesungguhnya kamu sedang terjebak dalam narasi ego yang terus memutar masa lalu. Kamu tidak hidup di saat ini, di sini-kini, melainkan hidup di dalam memori masa lalu yang udah berlalu, dan harapan masa depan yang belum tentu akan terjadi.
Mengapa Bertahan? Karena Ego Takut Kosong
Ketika kamu bertahan dalam hubungan yang menyakitkan, seringkali itu bukan karena cinta. Melainkan karena ketakutan:
• Takut sendiri
• Takut merasa gagal
• Takut kehilangan identitas yang didapatkan dari hubungan itu
Dan ketakutan itu berasal dari ego, dari sense of self yang palsu. Ego berkata:
“Lebih baik aku menderita tapi merasa ‘punya’ seseorang, daripada kehilangan dan merasa tidak jadi siapa-siapa.”
Kesadaran yang Diperlukan: Sadar Penuh Hadir Utuh di Sini-Kini
Jalan keluar bukan cuma langsung “keluar” dari hubungan, tetapi yang lebih penting adalah masuk lebih dalam ke dalam diri sendiri, dan mengamati:
• Apa motif terdalammu bertahan?
• Apakah itu cinta, ataukah keterikatan (attachment) yang menyakitkan?
• Apakah kamu masih hidup dalam kenyataan saat ini, atau terikat pada bayangan masa lalu, menggenggam ingatan?
Kamu hanya bisa mengambil keputusan yang bijak jika kamu sadar penuh hadir utuh di sini-kini.
Dari keheningan kesadaran, muncul kejernihan.
Dan kejernihan itu pun berkata lembut:
“Kamu tidak harus terus menderita demi mempertahankan cerita.”
•
Jadi, Apa yang Sebaiknya Dilakukan?
1. Sadari sepenuhnya momen di sini-kini.
Duduklah dalam keheningan. Tarik napas perlahan. Rasakan tubuhmu. Rasakan emosi-emosi yang muncul tanpa menghakimi. Akui semuanya. Sekadar hadir. Dari ruang ini, kamu mulai mengendurkan genggamanmu pada ilusi cerita yang diciptakan pikiran.
2. Lihat tanpa filter.
Amati hubungan itu seapaadanya, bukan melihat dengan filter memori masa lalu, bukan seperti yang kamu harapkan atau kamu inginkan di masa depan. Bukan seperti dulu. Bukan seperti “seharusnya.” Tapi seperti apa sekarang.
3. Lepaskan cerita tentang pengorbanan.
Semua yang kamu beri di masa lalu adalah bagian dari perjalanan hidupmu. Tidak ada yang sia-sia, jika kamu belajar darinya. Tapi jika kamu terus bertahan cuma karena “kamu telah berkorban,” maka kamu hanya akan menambahkan penderitaan baru di atas penderitaan lama.
4. Berani berhenti mengulang pola.
Jika hubungan itu menguras energimu, dan kamu terus menolak untuk berubah karena takut “rugi,” maka kamu memperpanjang ilusi. Mungkin inilah saatnya tidak lagi terjebak dalam “udah berkorban,” tapi mulai “bangun” menyadari.
5. Berhenti dan mengakhiri bukan karena benci, tapi karena cinta.
Kadang cinta sejati kepada diri sendiri, dan bahkan kepada orang lain, diwujudkan dalam bentuk: mengakhiri. Bukan dengan api amarah. Tapi dengan kesadaran.
Kesadaran tidak terikat pada masa lalu, dan tidak dikendalikan oleh ketakutan akan masa depan.
Kesadaran hanya peduli pada satu hal: Apa yang nyata sekarang. Dan kenyataan itu seringkali membebaskan.