Bising Kata-kata, Tidak Menyentuh Realita

2 menit baca

Selama ini kamu benar-benar hidup dalam realita, atau… cuma hidup dalam simbol dan kata-kata?

Dalam relasi, seseorang berulang kali berkata, “Maaf ya, aku akan berubah.” Tapi pola yang sama terus diulang: Menyakiti, abai, enggak menepati janji.

Kata “maaf” sebatas simbol. Tanpa tindakan nyata, itu hanyalah bunyi kosong.

Ucapan maaf bukanlah maaf itu sendiri. Perubahan nyata tidak lahir dari kata, tapi dari kesadaran seutuhnya yang lalu mewujud jadi tindakan nyata.

Kata bukanlah hal yang sesungguhnya.

Ketika seseorang menyebut kata “pohon,” itu hanya simbol. Itu bukan pohon hidup yang senyatanya.

Namun, pikiran kita telah begitu terbiasa hidup dalam simbol, sehingga kita sering mengira bahwa simbol itu nyata.

Contoh lain:

Kita mungkin sering menyebut nama Tuhan. Mengikuti ibadah, membaca kitab suci, mengutip ayat-ayat di media sosial. Kalo perlu kita tuliskan di profile akun kita.

Namun diam-diam hati kita dipenuhi iri, dengki, benci, ditambah lagi juara dalam penghakiman, kemarahan, bahkan kekerasan.

Kita dekat dengan kata “Tuhan”, tapi jauh dari keheningan yang selaras dengan kesadaran ilahi.

Kata “Tuhan” bukan Tuhan. Simbol bukan pengalaman. Menyebut-Nya enggak selalu berarti hidup dalam hadirat-Nya.

Kita sering keliru berpikir bahwa berbicara tentang sesuatu adalah sama dengan melakukannya.

Misalnya, kita bicara tentang cinta, perdamaian, kasih sayang… tapi ya hanya sebatas kata-kata.

Berpikir atau berkata-kata tentang cinta, bukan berarti tindakan kita otomatis menjadi penuh cinta.

Itulah mengapa… Tindakan nyata itu mengandung energi. Sedangkan kata enggak mengandung energi kayak gitu.

Kita, sebagai manusia modern, terbiasa hidup dalam dunia simbol: Label, nama, identitas, gelar, konsep, kepercayaan, ideologi, dan sebagainya.

Kita jarang mengalami sesuatu secara langsung. Setiap mengalami difilter oleh pikiran.

Misalnya, saat melihat seseorang, kita langsung memberi label: “teman,” “musuh,” “baik,” “buruk.”

Label itu membatasi, memisahkan kita dari kenyataan langsung.

Jadi kita hidup sebatas dalam ilusi pikiran, bukan dalam kenyataan.

Karena kita hidup cuma dalam simbol dan kata, dalam ilusi pikiran, maka tindakan kita tidak lahir dari kejernihan, tapi lahir dari kebingungan, dari keterkondisian, dari program masa lalu. Berdasarkan itu kita bereaksi.

Dan karena itulah, tidak ada energi kesadaran dalam setiap tindakan kita.

Tindakan kita yang seperti itu, tindakan yang cuma lahir dari kebingungan, keterkondisian, program masa lalu, atau rasa takut… adalah tindakan yang enggak utuh.

Energi yang sebaik-baiknya hanya muncul saat tindakan lahir dari kesadaran. Bukan sebatas dari tenggelam dalam kebisingan kata.

Pemulihan batin, pemulihan trauma, pun begitu. Bukan soal seberapa banyak yang kita tahu, tapi soal seberapa jujur kita sadar penuh hadir utuh dalam rasa sakit itu. Tanpa melabeli, tanpa menghindari, tanpa terburu-buru menyembuhkan.

Kadang, satu napas penuh kesadaran lebih memulihkan daripada seribu kalimat motivasi.

2 menit baca

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hidup Melelahkan Karena Berlebihan Mengejar

Kita terprogram, terkondisi, untuk meraih, mendapatkan. Bahkan saat kita bermeditasi. Seorang teman duduk di sebelah saya sore itu, matanya menatap kosong ke taman. “Sekarang hidupmu gimana?” Tanya saya. Lama diam, sebelum akhirnya berkata pelan: “Kemarin, aku nyuci piring sambil mikir soal hidup. Seperti biasa. Mikirin kenapa hidupku begini, kenapa aku nggak seproduktif temen-temenku, kenapa aku ngerasa mandek. Sampai tiba-tiba… busa...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *