Cinta Justru Hancur Saat Memiliki

2 menit baca

Apakah kamu benar-benar mencintai atau hanya takut kehilangan?

Mereka datang setiap Sabtu sore, seperti biasa. Membawa dua gelas kopi dan hubungan romantis yang sama sejak pertama kali mereka bertemu.

Di balkon posisi sudut itu, mereka duduk dalam diam. Kota di bawah sana bising, tapi dunia terasa hening.

“Aku merasa kamu menjauh akhir-akhir ini,” kata Arfan perlahan.

Nadia tidak langsung menjawab. Ia menatap langit senja yang mulai berubah warna.

“Bukan menjauh,” katanya. “Mungkin… aku sedang belajar buat nyaman sama diriku sendiri.”

Arfan mengangguk pelan, meski matanya menyimpan kegelisahan.

“Aku takut kehilangan kamu, Nad.”

Nadia tertawa. Lembut, tapi terdengar getir.

“Dulu aku juga takut. Setiap kamu telat membalas pesan, aku panik. Waktu kamu bilang butuh waktu sendiri, aku merasa ditinggal.”

Nadia berhenti sebentar. “Tapi ternyata bukan kamu yang membuatku takut. Ketakutanku yang sebenarnya adalah perasaan aku sendiri.”

“Jadi… sekarang kamu nggak butuh aku lagi?” suara Arfan nyaris berbisik.

Nadia beradu mata dengan Arfan. Matanya teduh, tenang.

“Justru karena aku nggak butuh kamu supaya aku jadi utuh, aku bisa benar-benar mencintaimu. Tanpa beban. Tanpa takut.”

Arfan menunduk. Ada bagian dari dirinya yang gamang, karena cinta yang tidak menggenggam terasa asing. Tapi ada juga bagian yang tenang, karena untuk pertama kalinya, ia merasa tidak dikekang, tapi tetap dipilih.

Dan mungkin itulah cinta yang sesungguhnya.

Cinta yang sejati bukanlah tentang memiliki. Ketika kamu ingin memiliki seseorang, berarti kamu bukan mencintainya. Karena yang kamu cintai sebenarnya bukan orang itu, melainkan bagaimana dia bisa memuaskan egomu.

Memiliki selalu berasal dari rasa takut. Takut kehilangan, takut ditinggalkan, takut sendirian. Kemelekatan (attachment) adalah ketakutan yang menyamar jadi cinta, yang berkata, “Tanpa kamu, aku tidak utuh.” Ketika kamu melekat, kamu menggenggamnya. Kamu ingin mengendalikan, memastikan, menguasainya.

Tapi cinta tidak pernah lahir dari ketakutan. Cinta lahir dari keberanian, dari kebebasan, dari perasaan cukup, bukan dari kekurangan.

Ketika kamu benar-benar mencintai seseorang, kamu ingin dia bahagia, bahkan jika kebahagiaannya itu bukan bersamamu. Itu bukan pengorbanan. Itu adalah kebebasan. Itu bukan memiliki. Itu adalah apresiasi.

Mengapresiasi dan bilang “aku mencintaimu”, sesungguhnya itu berarti:

“Aku melihatmu nggak sebatas badanmu, karena badanmu tentu akan menua. Tapi aku melihatmu melampaui badanmu, melampau dirimu di level fisik. Aku melihat sisi terdalam dirimu. Aku sekadar hadir bersamamu. Dan itu sudah lebih dari cukup.”

Dan saat kita bisa sekadar hadir tanpa keinginan untuk memiliki, tanpa ketakutan, itulah cinta. Itulah meditasi. Cinta adalah keheningan. Cinta adalah keindahan yang nggak menuntut apa-apa.

Untuk mengetahui cinta atau kemelekatan, lihat ke dalam dirimu sendiri:

Apakah kamu menderita saat dia menjauh sedikit saja?

Apakah kamu cemas kehilangan perhatian?

Apakah kamu memaksa dia menjadi seperti yang kamu mau?

Jika ya, itu bukan cinta. Itu kemelekatan. Dan kemelekatan selalu membawa penderitaan.

Jadi, jangan mencintai orang seperti kamu mencintai barang, memiliki barang.

Tapi mencintai seperti penyair mencintai langit malam: Tidak bisa dimiliki, hanya bisa takjub.

Cinta tidak tumbuh dari ketergantungan. Cinta tumbuh dari kesadaran, dari kemampuan untuk sendirian tanpa kesepian, dan kemampuan untuk bersama tanpa terlalu erat menggenggamnya.

2 menit baca

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *