Generasi Tua Mewariskan Trauma ke Generasi Muda

3 menit baca

Generasi tua, orang tua, pejabat, politisi, sering bilang masa depan di tangan generasi muda. Tapi kenyataannya, mereka sangat mengekang?

Senin pagi. Di lantai tujuh gedung kantor startup yang mengklaim dirinya “inovatif dan disruptif,” Nara duduk di ruang meeting. Di depannya, layar menampilkan slide dengan tulisan besar:

Youth-Driven Innovation: The Future Is You.

Rio, manajernya yang baru pulang dari konferensi luar negeri, tampak semangat mempresentasikan strategi “membebaskan ide anak muda.”

Ayo dong, Nara. Jangan takut ngomong. Kamu kan generasi Z! Kami di sini mau denger suara kalian,” katanya sambil tersenyum lebar.

Nara diam sejenak. Matanya menatap papan tulis yang penuh dengan coretan jargon: agile, disruption, transformation.

“Aku punya ide,” ucap Nara akhirnya. “Gimana kalau kita coba ubah cara kita ngelihat kerja, bukan dari target, tapi dari value orang?”

Rio langsung angkat tangan. “Wah, wah. Gak bisa segitu abstraknya dong. Harus tetap measurable, ya. Tetap pakai framework OKR yang udah ditetapkan atasan.”

Nara mengangguk pelan, “Tapi framework itu bikin kita mikirnya cuma soal performa, bukan kesehatan pekerja. Manusia cuma dilihat sebatas kayak mesin.”

Rio tertawa, “Kesehatan bisa nyusul. Yang penting angka dulu.

Nara menatap sekeliling. Poster-poster motivasi di dinding seolah berteriak:

Fail Fast, Learn Faster!

Dare to Think Different!

Tapi setiap ide baru selalu harus melewati approval panjang. Harus sesuai standar. Harus tetap rapi dalam template yang sudah ditentukan.

Minggu lalu, Nara sempat coba usul konsep kerja yang lebih reflektif: waktu khusus untuk berpikir tanpa distraksi, tanpa diganggu rapat mendadak. Tapi idenya ditolak. “Terlalu tidak produktif,” kata mereka.

Rasanya seperti disuruh menari bebas di ruangan yang penuh kaca pecah dan garis merah. Bebas, tapi jangan terlalu jauh. Jangan terlalu aneh. Jangan bikin atasan gak nyaman.

“Aku kadang bingung,” gumam Nara. “Katanya kita disuruh bikin dunia baru. Tapi pola yang dipakai… masih pola lama.

Rio tersenyum, kali ini agak kikuk. “Ya, begitulah sistem, Nar. Kita berproses.”

Nara memandangi layar presentasi. “The Future Is You.” Tulisan besar, font tebal, warna biru muda.

Tapi ruangannya tetap sama. Dingin, putih, kaku. Dan tidak ada satu pun ide yang bisa keluar… tanpa restu dari generasi lama.

Narasi “Harapan Baru Ada di Tangan Anak Muda” Itu Klise

Pejabat, politisi, penguasa, orang tua, dan bahkan campaign promo brand-brand besar sering bilang:

“Anak muda adalah harapan dunia yang lebih baik. Masa depan ada di tangan kalian.”

Kedengarannya keren, tapi sering kali hanya slogan kosong. Kenapa?

Karena kenyataannya pada saat yang sama, mereka juga yang mengarahkan, membentuk, dan membatasi cara berpikir generasi muda:

• Sistem pendidikan tetap kaku, mengutamakan hafalan dan ranking.

• Lingkungan sosial menekan untuk ikut arus: harus sukses, harus produktif, harus dapet validasi dari luar, menikah usia sekian, punya anak usia sekian, punya rumah, punya mobil, dan sebagainya.

• Media dan algoritma terus menjejalkan standar kecantikan, kesuksesan, dan “kenormalan” versi tertentu.

Mereka bilang: “Kamu bebas.”

Tapi yang dimaksud: “Bebas… selama tetap mengikuti pola yang sudah kami anggap benar ya.” Sungguh kocak.

Generasi Tua Mengurungmu dengan Pola Lama

Generasi sebelumnya mewariskan dunia yang penuh:

• Krisis iklim,

• Polarisasi politik,

• Ketidaksetaraan ekonomi,

• Krisis identitas dan mental.

Mereka sendiri belum menyelesaikan kekacauan yang mereka buat. Tapi mereka ingin anak muda mengubah dunia lebih baik dengan pola pikir yang sama yang menciptakan masalah itu.

Itu ibarat suruh anak muda memperbaiki rumah yang rusak, tapi hanya boleh pakai cara yang sama yang dulu bikin rumahnya rusak.

Dunia Baru yang Lebih Baik Butuh Kebebasan dari Program yang Usang

Kebebasan bukan sekadar:

• Bisa milih jurusan kuliah,

• Bisa pilih gaya hidup,

• Bisa bersuara di media sosial.

Kebebasan yang dimaksud di sini jauh lebih dalam:

– Kebebasan dari rasa takut.

– Kebebasan dari keharusan menampilkan diri yang disukai banyak orang.

– Kebebasan dari tekanan untuk menjadi ‘seseorang’.

Tanpa kebebasan batin ini, perubahan yang terjadi hanya permukaan. Hanya mengganti kemasan, bukan isinya. Hanya mengganti casing, bukan operating systemnya.

Pengekangan Hari Ini: Ekspektasi, Algoritma, dan Validasi Sosial

Hari ini, pengekangan itu tidak selalu terlihat seperti kekangan fisik. Tapi berbentuk:

• Ekspektasi keluarga dan masyarakat.

• Kecanduan validasi (likes, views, pujian).

• Ilusi kebebasan karena “punya banyak pilihan”, padahal semua pilihan tetap dalam kerangka pola pikir lama, pola pikir generasi tua.

Kita merasa bebas, padahal sebenarnya sedang hidup dalam desain kaku yang dibuat generasi sebelumnya.

Dunia Baru yang Lebih Baik Tidak Bisa Diciptakan oleh Pikiran Lama, Keterkondisian Usang

Kalau benar ingin dunia yang berbeda yang lebih baik:

• Kita perlu menyadari pola-pola lama yang diwariskan, dan berani melampaui itu.

• Bukan sekadar mengganti pemimpin, sistem, atau gaya hidup, tapi juga mengubah cara berpikir, pola batin, yang paling mendasar.

Karena perubahan hidup menjadi lebih baik itu mesti juga terjadi di dalam batin, bukan sebatas di luar, di permukaan, cuma kemasan.

Mental Health, Mindfulness, Psychology, Self Improvement, Spirituality
3 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan