Positif thinkers, justru sulit pulih & rawan mengalami masalah mental?
Orang yang dikit-dikit afirmasi positif, reframing positif yang dialami, di titik tertentu, juga sulit pulih & rawan mengalami masalah mental?
Di sebuah coffee shop kecil, saya duduk berhadapan dengan temen saya. Langit di luar gelap, tapi bukan cuma cuaca yang mendung hari itu.
“Aku capek banget,” katanya tiba-tiba, tanpa basa-basi. Tangannya meletakkan hp yang dipegang dari tadi di meja.
Saya diam, nunggu lanjutannya.
“Aku udah coba semua hal biar hidupku selalu positif sesuai yang aku inginkin. Afirmasi tiap pagi, journaling hal-hal yang aku syukuri, baca buku self-help sampe pusing. Tapi tetap aja… kosong.” Ia berkeluh kesah. “Kadang malah ngerasa makin jauh dari diri sendiri.”
Saya angguk pelan. “Mungkin karena kamu terlalu keras pengen selalu gembira? Bukannya nggak apa-apa lho, ngerasa sedih, takut, cemas?”
Dia menggelengkan kepala. “Tapi katanya kan, energi negatif itu nggak boleh, jadi harus dihindari?”
“Enggak semua yang negatif harus dihindari,” jawab saya. “Kadang malah yang negatif itu yang ngajarin kita jujur sama diri sendiri. Kadang kita perlu respect sama yang negatif.”
Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku ngerasa gagal. Selama ini pura-pura kuat. Pura-pura baik-baik aja. Pura-pura semuanya bisa aku kendalikan. Padahal dalamnya… berantakan.”
Saya nggak bilang apa-apa. Cuma duduk di situ. Seringkali hanya mendengarkan adalah bentuk paling jujur dari penerimaan.
“Aku takut kalau ngakuin aku nggak baik-baik aja, aku dianggap lemah,” lanjutnya lirih.
“Justru mengakui: aku lagi nggak baik-baik aja, itu sebuah keberanian dan itu wajar. Itu manusiawi.”
Ia mengangguk pelan, lega karena baru pertama kali ini diperbolehkan buat berhenti berpura-pura.
Setelah nyruput hot matcha yang agak pahit, saya pun bilang, “Proses pulih, mental sehat, itu bukan hanya ngliat sisi positif, tapi juga sisi negatif, menyadari adanya monster di diri kita, sisi nggak nyaman, sakit, sisi pahit hidup ini yang selama ini kita enggan melihatnya, kita terus denial.”
Kami diam sebentar. Hujan mulai turun pelan. Tapi anehnya, wajahnya justru mulai terlihat lebih relaks. Batinnya tidak setegang tadi.
Dan saya tahu, kadang yang dibutuhin orang buat mulai pulih, mental sehat… bukan afirmasi positif, tapi ruang untuk ngerasa apa adanya, tanpa dihakimi.
Hidup ini selalu terdiri dari positif dan negatif. Enggak bisa positif terus.
Ini adalah kesadaran akan dualitas alami hidup: terang — gelap, senang — sedih, sukses — gagal, nyaman — tidak nyaman, bertemu-berpisah, jatuh cinta-patah hati, muda-tua, sehat-sakit, hidup-mati. Hidup tidak bisa berjalan dalam satu kutub saja. Kalau kita cuma cari yang positif terus, kita sedang menghindari realitas utuh kehidupan. Keseimbangan, pulih, mental sehat lahir dari keberanian mengalami keduanya.
Sepositif apapun kita, kita akan tetap mengalami hal yang kita rasa negatif.
Ini menegaskan bahwa pengalaman negatif bukan tanda kegagalan berpikir positif. Kamu boleh punya mindset positif, tapi itu tidak menghapus fakta bahwa hidup kadang menyakitkan. Sakit hati, kecewa, gagal, kehilangan, semua itu bagian dari pengalaman manusiawi. Dan itu wajar.
Proses pulih dan mental sehat bukan cuma soal melihat sisi positif.
Penyembuhan batin bukan sekadar mengganti pikiran negatif jadi positif. Tapi tentang menyadari, mengakui, dan mengizinkan diri melihat apa yang pahit dan gelap dalam diri. Sisi monster yang selama ini disangkal, disembunyikan, dihindari.
Itu bisa berupa: rasa malu, sedih, marah yang terpendam, luka masa kecil, rasa iri, takut, putus asa, bagian diri yang dianggap “jelek” atau “nggak spiritual”. Justru dengan melihat dan memeluk sisi-sisi itu, kita mulai pulih.
Bahaya dari terlalu positif: rawan denial dan kesulitan pulih.
Kalau seseorang selalu pakai afirmasi positif untuk menutupi rasa sakit, maka mereka bisa terjebak dalam “toxic positivity.” Yakni kebiasaan menyangkal emosi negatif, demi terlihat kuat, spiritual, atau positif vibes. Tapi luka yang tidak dikunyah, akan tetap menetap. Dan seringkali, justru meledak jadi masalah mental di kemudian hari.
Mental sehat itu bukan hidup tanpa negatif, tapi bisa mengalami yang negatif dengan sadar.
Itulah “skill trampil menderita”. Artinya, belajar duduk bersama rasa takut, kecewa, kosong, cemas, dan sebagainya. Tanpa tergesa langsung kabur, menghindar, atau menutupinya dengan kata-kata manis. Dengan begitu, emosi negatif tidak jadi musuh, tapi bagian dari proses pemulihan.
Hidup nggak peduli perasaan kita.
Ini kesadaran yang membumi. Hidup akan terus berjalan. Badai datang, entah kita suka atau enggak. Kalau kita hanya mau mengalami hal-hal yang nyaman sesuai keinginan, maka kita akan terlalu dalam terpuruk jatuh tiap kali realitas nggak sesuai harapan.
Nggak perlu merasa jadi si paling pusat semesta.
Ini semacam ajakan untuk mengendurkan ego. Kadang kita merasa dunia harus berjalan nurut sama kita, harus adil, harus mengerti perasaan kita. Tapi kenyataannya, semesta nggak hanya berputar mengelilingi diri kita sendiri. Dan ini bukan hal buruk. Ini justru membebaskan.
Karena begitu kita sadar bahwa hidup tidak harus memuaskan ekspektasi kita, kita bisa lebih siap menerima, menjalani, bertumbuh, dan pulih.