Hubungan dengan Orang Tua Membentuk 4 Attachment Styles

2 menit baca

Masa kecil punya cara unik menyimpan kenangan. Ada yang menjadi kenangan yang samar, tidak terlalu ingat. Ada juga yang begitu jelas, seakan baru kemarin terjadi.

Pernah suatu malam, setelah bertengkar dengan ibu, saya masuk kamar dan menutup pintu dengan keras. Usia masih belasan, rasanya seolah seluruh dunia runtuh. Ingin menangis, tapi takut dianggap lemah. Ingin cerita, tapi enggak yakin ada yang mau mendengar. Di satu sisi ada rasa haus akan pelukan, di sisi lain ada dorongan untuk menjaga jarak.

Keesokan harinya, ibu menyapa saya seolah tak ada apa-apa. Saya tersenyum kecil, ikut berpura-pura. Di dalam hati, tetap ada perasaan campur aduk: senang karena masih diperhatikan, tapi juga bingung kenapa masalah tidak pernah benar-benar dibicarakan.

Di momen itu saya belum tahu, saya sedang belajar pola yang kelak kubawa ke dalam hubungan dewasa. Kadang merasa dekat lalu takut kehilangan (Anxious), kadang ingin menjauh lalu bebas (Avoidant), kadang dua-duanya sekaligus. Dan di tengah semua itu, ada juga keinginan sederhana yang sebenarnya lebih mendasar, yaitu ingin merasa aman.

Momen-momen kecil dalam keluarga seperti itu sebenarnya sedang membentuk “keterkondisian batin” tentang bagaimana pola kita saat dewasa berhubungan dengan orang lain. Ini seringkali disebut sebagai attachment styles atau pola keterikatan.

Bayangkan attachment styles ini seperti “kacamata” yang kita pakai sejak kecil. Lewat kacamata itulah kita melihat hubungan, keintiman, rasa aman bersama orang lain, juga gimana kita memahami cinta. Ada 4 pola utama yang biasanya terbentuk:

  1. Secure

Anak yang merasa diterima dan didengar, belajar percaya bahwa dunia cukup aman. Saat dewasa, orang dengan pola ini cenderung bisa dekat tanpa takut kehilangan, bisa mandiri tanpa merasa ditinggalkan.

2. Anxious Attachment

Anak yang sering merasa ditinggalkan atau tidak cukup mendapat perhatian, tumbuh dengan rasa waswas. Saat dewasa, muncul kecenderungan butuh kepastian berulang-ulang: “Kamu masih sayang aku, kan?” Ada ketakutan ditinggalkan yang terlampau besar, sehingga dorongan untuk terus dekat terasa sangat kuat, bahkan sampai berlebihan. Seolah hubungan hanya aman kalau selalu ada kepastian dan perhatian.

3. Avoidant Attachment

Anak yang sering merasa kebutuhan emosinya diabaikan, belajar untuk menekan perasaan. Saat dewasa, jadi sulit membuka diri, cenderung jaga jarak, takut terlalu dekat karena khawatir disakiti atau dianggap lemah.

4. Disorganize Attachment

Anak yang mengalami pengalaman membingungkan, kadang diberi kasih sayang, kadang justru disakiti, sering tumbuh dengan pola campuran. Saat dewasa, hubungan jadi tarik-ulur: ingin dekat, tapi sekaligus takut. Ingin disayang, tapi sekaligus tidak percaya.

Yang perlu diingat, pola ini bukanlah vonis permanen. Pola ini terbentuk dari masa kecil, tapi bisa berubah seiring pengalaman, pilihan dan kesadaran kita di masa dewasa.

Attachment style adalah kondisi batin yang awalnya kita pelajari dari hubungan kita dengan orang tua. Namun, seiring usia, kita bisa belajar pola baru. Pola kemelakatan yang lebih sehat, lebih dewasa, lebih didasari kesadaran.

Kalau kita sudah mulai memahami “pola kemelekatan” ini, kita bisa lebih ramah pada diri sendiri dan orang lain. Karena di balik setiap pola, ada kebutuhan yang sama: ingin merasa dicintai dan diterima apa adanya.

Life, Mental Health, Psychology, Relationship, Self Improvement
2 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan