Bahagia yang muncul lalu lenyap, datang dan pergi itu bukan bahagia, itu cuma kondisi pikiran. Bahagia itu esensi alami diri kita (the nature of our being), jadi bahagia itu sejatinya senantiasa ada.
Kami duduk berdua di pojok toko buku kecil. Lorong-lorong penuh rak kayu yang seolah menyapa tiap ada yang lewat. Bau kertas buku memenuhi udara.
Teman saya memegang sebuah buku, tapi matanya tidak mengarah ke buku.
“Aneh ya,” katanya tiba-tiba, “Beberapa hari lalu aku ngerasa bahagia banget. Rasanya hidup ini ringan. Tapi semalam hilang. Aku gelisah lagi, overthinking lagi. Kok bahagia bisa lenyap seketika gitu ya?”
Saya hanya mendengar, tidak menyela.
Dia membuka-buka halaman bukunya, menunduk, lalu bergumam, “Apa jangan-jangan bahagia yang aku rasain itu cuma kondisi pikiranku yang lagi tenang? Kalau begitu wajar aja hilang… Kondisi pikiran kan berubah-ubah, nggak statis.”
Dia berhenti sebentar, lalu mengangkat wajahnya. Ekspresi wajahnya tersenyum.
“Berarti… bahagia yang sejati sebenarnya nggak hilang ya. Seolah hilang, karena yang aku kira bahagia itu ternyata cuma kondisi pikiranku. Dan kondisi pikiranku tentu. berubah-ubah.”
Saya mengangguk pelan.
Suara kertas dibalik terdengar samar. Rak kayu tetap berdiri diam. Dan bahagia… tetap ada, bahkan apapun kondisi pikiran kita.
Bayangkan seseorang sedang duduk tenang di taman pada sore hari. Angin sepoi-sepoi, langit biru, semuanya terasa damai. Dalam momen itu pikirannya menjadi tenang, hening, dan ia merasa bahagia. Tapi kemudian, scroll-scrool baca konten di social media: Kabar yang bikin cemas. Dalam sekejap, kebahagiaan itu seolah hilang.
Mari kita renungkan:
“Kebahagiaan yang baru saja hilang itu… apakah itu benar-benar kebahagiaan sejati? Atau itu sebenarnya hanya kondisi pikiran? Itu cuma kondisi pikiran yang tenang dalam suasana yang mendukung?”
Inilah poin utamanya:
Kebahagiaan yang hilang itu adalah “state of mind”, suatu keadaan pikiran. Kebahagiaan yang seperti ini akan selalu muncul lalu lenyap, datang dan pergi. Kenapa? Karena sifat alami pikiran adalah berubah-ubah.
Sebaliknya, ada kebahagiaan yang lebih dalam, kebahagiaan yang tidak bergantung pada apapun, yang selalu hadir di balik fluktuasi pikiran. Itulah kebahagiaan yang merupakan esensi alami diri kita, the nature of our being.
Selama ini ketika kita mengalami momen yang kita asumsikan sebagai “bahagia yang bisa muncul lenyap”, sebenarnya yang terjadi itu sebatas kebahagiaan, yaitu esensi alami diri kita, tercermin dalam pikiran kita yang saat itu sedang tenang.
Refleksi itu bisa terasa sangat nyata, tapi tetap saja itu hanya pantulan, bukan sumber aslinya, bukan sejatinya. Karena pantulan, maka sifatnya sementara: Muncul lenyap, datang pergi.
Masalah muncul ketika kita keliru mengira pantulan itu sebagai kebahagiaan sejati. Lalu kita kecewa ketika itu lenyap:
“Mengapa bahagia ini tidak menetap selamanya?”
“Kenapa aku tidak bisa menjaga rasa bahagia ini sepanjang waktu?”
Dalam kehidupan sekarang, orang sering berpikir:
“Kalau batin tenang, pikiran damai, berarti aku sudah pulih, aku sudah mencapai kebahagiaan sejati.”
Padahal, yang terjadi hanyalah pikiran pas dalam kondisi tenang, belum tentu kita menyentuh kebahagiaan yang merupakan “the nature of our being” (esensi alami diri kita), yang tidak berubah-ubah.
Keadaan pikiran yang tenang tentu bisa hilang sewaktu-waktu: ada masalah di kantor, ada komentar negatif di media sosial, atau hanya karena lapar, langsung hilang.
Jangan keliru mengidentifikasi kebahagiaan sejati dengan kondisi pikiran. Kebahagiaan sejati tidak bergantung pada kondisi pikiran. Kebahagiaan sejati adalah latar belakang (background) yang selalu ada, dari setiap pikiran (dan perasaan) yang muncul. Bahkan ketika pikiran dan perasaan sedang kacau, stres, marah, atau sedih.
Jadi apa yang bisa dilakukan?
Saat merasa kebahagiaan lenyap, jangan sibuk mencoba “mengembalikannya”.
Tapi kembalilah pada esensi alami diri kita, yaitu kebahagiaan sejati, the happiness of simply being, yang senantiasa ada bahkan sebelum segala aktivitas mental muncul.
Esensi alami diri kita, kesadaran, pure awareness, being, itulah rumah asli dari kebahagiaan.
Ia tidak muncul lalu lenyap, datang dan pergi.
Ia selalu ada di latar (background), diam ajeg, tidak pernah hilang.
Bayangkan seperti langit.
Awan cuaca bisa cerah, bisa mendung, bisa hujan badai.
Awan cuaca adalah kondisi yang muncul lenyap datang dan pergi.
Langit itu sendiri selalu ada di latar (background), diam ajeg, tidak pernah hilang.
Kebahagiaan sejati = langit
Kondisi pikiran yang selama ini kita asumsikan sebagai bahagia yang bisa hilang, muncul lenyap, datang pergi = awan cuaca
Kalau kita hanya menginginkan, menggenggam, attach pada “awan cuaca yang cerah tenang”, maka kita akan sangat kecewa saat hujan badai datang. Tapi kalau kita menyadari bahwa kita sejatinya adalah langit kesadaran, maka segala awan cuaca pikiran & perasaan hanya sekadar peristiwa yang berlalu.
Kembali pada esensi alami diri kita, yaitu kebahagiaan sejati, the happiness of simply being. Bukan cuma sebagai kondisi pikiran, awan cuaca, tapi sebagai langit, dasar, yang selalu ada di latar (background), apa pun yang terjadi.