Proses memulihkan trauma terasa menakutkan itu enggak selalu karena lukanya, tapi karena kita melarikan diri dari rasa kosong.
Ada pagi-pagi tertentu di mana saya bangun dengan dada sesak, pikiran kusut, dan tubuh rasanya berat sekali untuk bergerak. Tidak ada peristiwa besar yang terjadi malam sebelumnya, tapi rasa takut itu muncul begitu saja. Anehya, saat saya duduk di ruang yang tenang, atau ketika berada di dekat orang-orang yang membuat saya merasa aman, rasa takut itu bisa hilang seketika. Seolah rasa takut itu tidak pernah ada.
Saya yakin, banyak orang pernah mengalami hal yang sama. Takut tanpa alasan jelas. Takut di dalam rumah, takut juga di luar rumah. Takut ketika sendirian, takut juga ketika bersama orang lain. Bahkan sudah mencoba berbagai macam cara, mencari penyebabnya di masa lalu, tapi rasa takut itu tetap saja datang, bergelombang, seperti awan gelap yang tidak mau pergi.
Daripada sibuk menyalahkan masa lalu, lebih baik kita lihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam diri kita saat ini.
Rasa Takut dan Ketergantungan yang Terselubung
Kalau dipikir-pikir, rasa aman seringkali hadir bukan dari dalam, tapi dari luar. Misal, kamu merasa nyaman di ruang tertentu, merasa tenang di rumah orang tua, merasa damai ketika bersama teman dekat. Tapi begitu suasana atau orang-orang itu hilang, rasa takut langsung datang kembali.
Oleh karena itu, kita mulai sadar: mungkin masalahnya bukan pada ruang atau orang, tapi pada ketergantungan kita terhadap mereka. Selama kita bergantung pada hal-hal di luar diri, akan selalu ada ketakutan: takut kehilangan, takut sendirian, takut tidak bisa menghadapi dunia tanpa sandaran. Semakin besar ketergantungan, semakin besar pula ketakutan dan penderitaannya.
Kekosongan Batin yang Tak Bisa Diisi
Mengapa kita bergantung? Karena di dalam diri ada sebuah ruang kosong. Sunyi. Sepi. Seperti lubang gelap yang tak bisa diisi oleh apa pun. Tidak oleh cinta dari pasangan, tidak oleh prestasi, tidak juga oleh hiburan atau bahkan oleh hal yang sifatnya spiritual.
Setiap kita barangkali pernah mencoba menutup lubang itu dengan kesibukan, pencapaian, bahkan hubungan. Tapi semakin kita berusaha menutupinya, semakin terasa kosong. Dan justru upaya untuk lari dari kekosongan itu yang melahirkan rasa takut.
Sebenarnya yang menakutkan itu bukan rasa kosong. Yang menakutkan itu usaha kita untuk lari dari rasa kosong itu. Ketakutan lahir setiap kali kita berusaha melarikan diri dari rasa kosong itu.
Perbandingan: Mesin Pencipta Kekosongan
Lalu, dari mana asal kekosongan itu? Saya rasa jawabannya sederhana: dari kebiasaan membandingkan diri.
Sejak kecil kita sudah akrab dengan kalimat-kalimat seperti:
“Nilaimu segini, lihat temanmu lebih tinggi.”
“Kamu belum sukses, orang lain sudah punya segalanya.”
“Kamu biasa saja, dia luar biasa.”
Perbandingan inilah yang menanamkan rasa: ”Aku tidak cukup.” Dari sana lahirlah jurang gelap dalam diri, yang kemudian kita coba tutup dengan apapun: pencapaian, validasi, atau bahkan hubungan. Padahal jurang itu tak akan pernah terisi.
Perbandingan menciptakan jurang gelap dalam diri, dan rasa takut datang saat kita berusaha menutup jurang itu dengan segala cara.
Duduk Diam Bersama Kekosongan
Lalu apa jalan keluarnya? Bukan dengan berusaha mengisi kekosongan itu. Bukan juga dengan menjadi kuat dan mandiri secara palsu.
Justru dengan berani duduk diam bersama kekosongan itu. Sit with it. Menatapnya seapaadanya. Tidak lari. Tidak menutupinya dengan kesibukan, hubungan, atau hiburan.
Awalnya memang terasa menakutkan. Tapi ketika kita pelan-pelan mencoba sekadar hadir sepenuhnya bersama kekosongan itu, ada momen di mana ketakutan mulai mereda. Karena kita tidak lagi lari, tidak lagi melawan kekosongan dan rasa takut itu.
Dari tempat yang hening itu, muncul ruang untuk cinta. Cinta yang bukan datang dari keinginan, melainkan dari keutuhan. Cinta yang tidak bergantung, tidak menuntut, tidak membandingkan.
Pulang ke Dalam Diri
Saya belajar satu hal penting: kita tidak perlu menjadi “cukup” dulu untuk berhenti takut. Justru ketika saya berhenti berusaha menjadi cukup, rasa takut itu perlahan reda.
Mungkin, selama ini yang perlu dilakukan bukanlah melarikan diri dari ketakutan, melainkan berhenti sejenak… dan pulang ke dalam diri sendiri.