Kenapa ya orang bisa munafik? Kata-katanya nggak sejalan dengan tindakannya?
Fake, bilangnya udah move on, tapi ternyata diam-diam masih menginginkan?
Rajin bicara tentang memaafkan, tapi ternyata masih menyimpan dendam?
Kadang, seseorang bilang:
“Aku mandiri kok. Nggak butuh siapa-siapa.”
Tapi sebenarnya, yang ia sangat takuti adalah ditinggalkan.
Daripada merasa kecewa, ia memilih menjaga jarak. Daripada terlihat lemah, ia menampilkan kesan sebagai orang yang kuat. Dan perlahan, setiap relasi yang coba dibangun jadi hampa. Dekat secara fisik, tapi jauh secara batin.
Akhirnya, yang hadir dalam hubungan bukan diri yang jujur, tapi versi yang dipaksakan. Versi yang melelahkan untuk dipertahankan.
Ketakutan adalah akar dari kemunafikan.
Ketika pikiran kita terjebak dalam ketakutan, kita kehilangan kejernihan. Kita hidup dalam konflik batin, dalam kebingungan, dan dari situ timbul kekerasan, dalam berbagai bentuk, baik secara samar, nggak terlalu tampak, maupun yang sangat terlihat.
Pikiran yang takut menjadi tidak bebas. Tidak berani keluar dari pola-pola yang udah dikenalnya. Melekat pada ingatan, kebiasaan, dan identitas yang memberi rasa aman semu. Dan dari kemelekatan pada semu itu, pada kepalsuan itu, lahirlah kemunafikan.
Apa itu kemunafikan?
Adalah ketika kata-kata tidak sejalan dengan tindakan. Ketika seseorang berbicara tentang cinta, tetapi hobi menyimpan benci dan amarah. Ketika seseorang bicara tentang kedamaian, tapi semangat mendukung kekerasan. Ketika seseorang bicara tentang akhirat, tetapi giat bertindak demi keuntungan duniawi. Semua itu bukan karena orang itu jahat, tetapi karena ia takut.
Takut ditolak. Takut kehilangan. Takut sendirian. Takut diri tidak berarti.
Selama ketakutan masih menjadi pondasi dari keberadaan kita, kita tidak bisa benar-benar pulih. Karena pikiran akan selalu mencari perlindungan. Entah itu dalam bentuk kekayaan materi, gelar, jabatan, popularitas, bahkan spiritualitas. Dan di dalam perlindungan itu, lahirlah kemunafikan.
Jadi kemunafikan cenderung bukan masalah moral, tapi lebih ke masalah eksistensial. Itu adalah gejala dari asingnya kita dengan diri kita sendiri.
Kita mau semaksimal mungkin melakukan segala upaya memulihkan batin, bahkan melakukan berbagai kegiatan yang suci, tapi selama ketakutan masih menjadi dasar hidup kita, semua yang kita lakukan hanya jadi bayangan, ilusi. Kita tetap akan berada dalam kegelapan.
Pengenduran kemunafikan bukan lewat kengototan kita menjadi diri yang “lebih baik,” tapi melalui sadar penuh hadir utuh menyadari ketakutan. Menyadarinya tanpa lari, tanpa menghakimi, tanpa keinginan untuk mengubahnya. Dalam kesadaran itulah, ketakutan berangsur memudar. Dan hanya dengan begitu, ucapan dan tindakan kita cenderung selaras. Tak lagi munafik.