Benarkah perang di luar diri itu cerminan kondisi batin di dalam diri? Manusia ingin damai tapi perang dunia III bakal terjadi?
Seorang teman pernah bercerita ke saya, di suatu malam, saat kami duduk setelah makan malam.
Dia bilang begini:
“Aku baru sadar sesuatu. Mungkin kedengarannya aneh, tapi… kayaknya aku selama ini ikut nyumbang ke perang. Bukan perang antar negara di luar sana, yang pakai senjata. Tapi yang kecil-kecil. Yang nggak tampak jelas. Yang nggak pernah masuk berita.”
Saya menatapnya, menunggu ia melanjutkan.
“Tiap kali aku ngotot merasa paling benar, itu perang kecil. Tiap kali aku marah ke orang lain karena mereka nggak ngerti aku, itu juga perang. Tiap kali aku nahan dendam, atau diem-diem pengen orang lain jatuh, itu juga bentuk perang.”
“Dan yang bikin ngeri, itu semua aku anggap biasa. Tiap hari pikiranku penuh konflik. Aku bilang cinta damai, tapi dalam hati, aku terus-terusan berkelahi.”
Ia menarik napas dalam.
“Aku mulai mikir, jangan-jangan perang yang gede itu cuma cerminan versi diperbesar dari apa yang manusia lakukan di level pribadi. Kalau jutaan orang hidup dengan pikiran penuh konflik, ya pasti dunia bakal begitu juga.”
Saya tak banyak ngomong malam itu. Tapi kata-katanya nempel banget di kepala saya.
Dan sejak malam itu, setiap kali saya marah, kecewa, atau ingin menang sendiri, saya diam sejenak, menengok ke dalam diri dan bertanya:
“Apakah ini… juga bentuk dari perang?”
Kita sering kali menganggap perang sebagai sesuatu yang terjadi “di luar sana”, dilakukan oleh negara, pemerintah, atau kelompok bersenjata. Kita merasa tidak terlibat secara langsung. Namun, perang hanyalah cerminan dari cara kita hidup setiap hari, dalam versi diperbesar dan diperkeras.
Coba perhatikan:
Bagaimana kita memperlakukan satu sama lain? Bagaimana kita bersikap kepada yang berbeda identitas, berbeda agama, suku, ras, golongan?
Apakah hidup kita bebas dari kekerasan dalam bentuk marah, iri, ambisi, kebencian, dan kepentingan diri?
Apakah relasi kita benar-benar damai, atau penuh konflik terselubung?
Perang lahir dari konflik batin.
Saat kita hidup dalam perpecahan, fragmentasi, polarisasi antara aku dan kamu, kita dan mereka, bangsa ini dan bangsa itu, maka kita menciptakan kondisi psikologis yang sama dengan perang.
Jika kita tumbuh dengan rasa takut, marah, merasa lebih unggul dari yang lain, maka benih perang sudah tertanam. Ketika ini terjadi di dalam jutaan manusia, maka tidak heran dunia meledak dalam peperangan.
Perang adalah kelanjutan logis dari cara hidup kita sehari-hari.
Maka pertanyaannya bukan sekadar:
“Bagaimana menghentikan perang?”
Tapi:
“Bisakah setiap kita hidup tanpa konflik, tanpa kekerasan, tanpa perpecahan, dalam diri kita sendiri?”
Jika kita masih hidup dengan rasa iri, dendam, atau kebencian, maka kita adalah bagian dari sebab-sebab perang. Tak peduli seberapa keras kita bicara soal damai.
Damai bukan cuma hasil negosiasi atau kesepakatan antar negara.
Lebih dalam, damai adalah keadaan batin. Dan dari situ barulah lahir dunia yang benar-benar damai.
Jadi, untuk menghentikan perang, kita tidak bisa hanya bicara tentang politik atau strategi. Kita harus menyelam ke dalam diri sendiri. Kita harus mengamati dengan jujur, tanpa ilusi, menyadari bagaimana kita menciptakan konflik, dari dalam.
Jika setiap kita berubah, bukan secara ideologis, tetapi dalam batin kita yang sesungguhnya, jika setiap kita benar-benar hidup tanpa kekerasan dalam pikiran, kata, dan tindakan, maka kita bukan bagian dari sebab-sebab perang.
Dan kedamaian sejati selalu dimulai dari satu manusia yang berani melihat kebenaran ini dengan sangat jelas.