Apa yang membuatmu sulit move on, sulit melepas dia? Makin berusaha melepas, justru makin terikat?
Tadi malam, temen saya tiba-tiba ngajak ketemu.
Kami duduk di bangku panjang di coffee shop, yang biasa sepi kalau udah lewat jam delapan. Dia bawa cerita, saya bawa telinga.
Dia buka obrolan pelan-pelan.
“Kamu pernah gak sih, mikir udah move on… tapi ternyata belum?” tanyanya.
Sebelum saya jawab, dia jawab sendiri, “Aku pernah. Waktu itu aku bilang ke semua orang: “Aku udah ikhlas kok. Udah selesai.” Tapi tiap kali lihat sesuatu yang nyambung ke dia, lagu, tempat, bahkan huruf pertama namanya, hatiku masih nyelekit. Aku pikir, aku cuma butuh waktu.”
Saya diem. Kadang yang dibutuhin bukan jawaban, tapi perasaan didengarkan.
Dia lanjutin,
“Tapi makin lama, aku sadar: yang aku pegang itu bukan dia. Tapi cerita tentang aku dan dia.
Cerita tentang betapa berharganya aku saat bareng dia. Cerita yang bikin aku merasa punya peran, punya tempat, punya makna. Dan ketika relasi itu kandas, cerita itu hilang, aku ngerasa kayak hilang arah juga.
Aku pikir aku cuma kangen dia. Tapi lama-lama aku sadar, yang lebih aku kangenin itu… aku yang dulu. aku yang dicintai, aku yang ngerasa diriku penting.”
Mukanya nggak sedih, tapi intonasi suaranya menunjukkan dia sangat berat mengalami ini.
“Baru belakangan aku paham, kata “melepaskan” itu sering disalahpahami. Orang mikirnya: “Lepasin dong, jangan diinget-inget.” Padahal bukan soal ngelupain… tapi soal nggak nyari diriku sendiri lagi di dalam kenangan itu, di dalam dirinya.”
Dia menghela napas, matanya mulai tersenyum. Lalu dia bilang kalimat ini, yang sampe sekarang masih nempel di kepala saya:
“Pas aku nggak lagi berharap balikan lagi sama dia, maupun hubungan diperbaiki, atau dikasih penutup yang manis… Anehnya, pelan-pelan rasanya jadi nggak sesakit dulu lagi. Kayak kabut yang hilang sendiri, karena matahari udah terbit.
Barangkali itu ternyata yang namanya melepas ya?”
Banyak orang bertanya: Bagaimana cara move on, melepaskan keterikatan pada seseorang? Begitu pula, pada benda, status, atau bahkan asumsi?
Tapi usaha untuk melepaskan keterikatan seringkali justru memperkuatnya.
Mengapa? Karena usaha melepaskan itu muncul dari ego, bagian dari diri kita yang mengidentifikasi diri dengan hal-hal eksternal.
Maksudnya gimana?
Jadi gini… Coba perhatikan: Kenapa kita terikat pada seseorang, pada sesuatu? Karena secara nggak sadar, kita merasa orang itu, hal itu memberi kita identitas. Pasanganku, mobilku, pekerjaanku, pencapaian spiritualitasku, dan berbagai -ku -ku -ku yang lainnya. Semua itu memberi rasa “aku”, memperkuat keberadaan ego.
Ego berkata: “Tanpa orang itu, tanpa sesuatu itu, aku bukan siapa-siapa.” Maka kita menggenggam erat-erat orang dan sesuatu itu. Kita (ego) mencari dirinya di orang itu, di sesuatu itu.
Lalu gimana melepaskan genggaman erat, kemelekatan itu?
Jangan berusaha melepaskannya, karena kalau berusaha itu malah nggak mungkin bisa. Tapi begitu kita tidak lagi mencari diri kita di orang itu, di sesuatu itu, dan di berbagai hal di luar diri kita, maka kemelekatan itu runtuh dengan sendirinya.
Ini bukan soal menolak dunia, tapi melihat dunia tanpa menjadikannya sebagai tempat untuk mencari siapa kita sebenarnya.
Ketika benar-benar menyadari itu, kamu enggak lagi butuh dia untuk merasa utuh. Dan di titik itu, keterikatan lenyap. Kamu hanya bisa menemukan dirimu yang sesungguhnya di dalam dirimu sendiri.