“Tipe kepribadianku ini, desain kepribadianku itu, aku tu orang yang begini begitu ina inu.” Yang kamu pikir kamu, bukanlah kamu.
Pernahkah kamu benar-benar bertanya pada diri sendiri: “Siapa aku?”?
Bukan dalam arti nama, pekerjaan, status, tipe desain kepribadian, atau pun image citra mengenai diri kita yang diciptakan pikiran. Tapi lebih ke: Siapa “aku” yang sesungguhnya?
Kita semua, tanpa terkecuali, punya image citra di pikiran mengenai diri kita itu siapa (what we think we are) dan diri kita itu seharusnya gimana (what we should be).
Image citra ini muncul dipengaruhi oleh berbagai hal:
- Pola asuh, pendidikan yang mengajarkan kita harus pintar, harus berprestasi.
- Orang tua, keluarga yang menuntut kita menjadi anak baik, anak yang bisa dibanggakan.
- Lingkungan, media sosial yang membentuk standar bagaimana mestinya berpenampilan, gaya hidup, dan kebahagiaan seharusnya terlihat.
- Dan sebagainya.
Lalu apa yang terjadi?
Kita mulai mengejar image citra di pikiran mengenai diri kita itu seharusnya gimana (what we should be). Ada jarak antara “aku (what we think we are)” yang ada saat ini, dengan “aku seharusnya (what we should be)” yang ada di image citra itu. Dan yang perlu diwaspadai: Kita percaya begitu saja bahwa image citra di pikiran mengenai diri kita itu siapa (what we think we are) itulah diri kita yang sesungguhnya.
Padahal image citra, gambar mental tentang diri ini justru menghalangi kita untuk melihat kenyataan tentang siapa kita yang sesungguhnya.
Seperti cermin yang tertutup debu, image citra ini membuat kita gagal melihat wajah kita sendiri dengan jernih.
Dalam konteks kehidupan hari ini, kita bahkan semakin terbiasa hidup dalam ilusi citra diri ini:
- Kita berusaha terlihat bahagia demi validasi, likes dan followers.
- Kita memaksakan diri terlihat kuat meski hati rapuh.
- Kita mengejar versi ideal “aku seharusnya” tanpa pernah benar-benar duduk hening untuk mengamati lebih dalam siapa “aku” di balik semua itu.
Di dunia yang makin penuh distraksi dan perbandingan, image citra menjadi semacam topeng yang kita pakai terus-menerus. Dan saking lama memakainya, kita lupa bagaimana rasanya menjadi diri kita sendiri yang sesungguhnya dan otentik.
Melihat diri seapaadanya berarti sekadar hadir, terhubung dengan pure awareness: Tanpa mengkategorikan diriku tipe kepribadianku ini, desain kepribadianku itu… ketika pikiran membandingkan, sadari aja pikiran itu, ketika pikiran menghakimi, sadari aja pikiran itu, ketika pikiran ingin mengubah, sadari aja pikiran itu. Tidak berusaha menjadi lebih baik, tidak berusaha menjadi lebih buruk, hanya menyadari, mengamati.
Mengamati diri:
- Saat marah, mengamati “ini marah”.
- Saat takut, mengamati “ini takut”.
- Saat muncul ambisi, mengamati “ini ambisi”.
Tanpa menempelkan label moral, tanpa berkata: “Seharusnya aku tidak marah… seharusnya aku lebih percaya diri… seharusnya aku sudah sukses.”
Karena begitu pikiran kita berkata “seharusnya”, kita sudah kembali masuk ke perangkap image citra yang diciptakan pikiran.
Tapi kalau pun pikiran berkata “seharusnya”, enggak apa-apa… sadari aja pikiran itu.
Jadi kita tidak bisa benar-benar memahami diri kalau kita masih mengkategorikan diriku tipe kepribadianku ini, desain kepribadianku itu… masih percaya begitu saja bahwa image citra di pikiran mengenai diri kita itu siapa (what we think we are) itulah diri kita yang sesungguhnya.
Kita juga tidak bisa benar-benar memahami diri kalau kita masih mengejar image citra di pikiran mengenai diri kita itu seharusnya gimana (what we should be). Jalan menuju pemahaman diri bukan tentang memperbaiki image citra itu, tetapi meletakkan semua image citra, menanggalkan semua topeng, semua label, lalu mengamati diri dengan keheningan penuh.
Cobalah berhenti sebentar hari ini… dan tanyakan:
“Tanpa image citra, label yang diciptakan pikiran, sebenarnya aku ini siapa?”