Luka batin dan trauma justru pulih saat kamu benar-benar berani melihatnya lebih dekat?
Pernahkah kamu mengalami ini?
Kamu sedang ketemu sama temen-temenmu. Tiba-tiba nih ada ucapan dari salah satu teman yang menyindir masa lalumu, tentang kegagalan relasi cintamu dulu.
Ucapan itu satset dasdes men-trigger memicu rasa sakit luka lama yang belum pernah benar-benar pulih. Kamu langsung kesal, menutup diri, marah dalam hati, nyebahi tenan. Tapi di sisi lain, terutama di social media, kamu sibuk meyakinkan diri, meyakinkan orang lain bahwa kamu sudah “healed.”
Jadi apa yang kita sebut sebagai luka batin, trauma ini sebenarnya gimana ya? Sakjane piye sih?
Luka batin, trauma, semua itu tersimpan dalam ingatan. Bukan hanya ingatan peristiwa, tapi juga ingatan emosi, perasaan yang melekat kuat.
Dan selama pikiran terus menggenggam ingatan ini sebagai bagian dari identitasnya, maka luka itu akan tetap hidup, terus berulang dalam bentuk reaksi, ketakutan, kemarahan, bahkan kekerasan.
Maksudnya pikiran terus menggenggam ingatan ini sebagai bagian dari identitas itu gimana ya?
Misal seseorang pernah di masa lalu, orang tuanya bilang: “Kamu nggak akan bisa sukses!” Setelah dewasa, ia jadi orang yang ambisius, overachiever, selalu ingin membuktikan: “Aku bisa!”.
Di luar tampak seperti pencapaian hebat. Tapi di dalam, ada suara kecil yang berkata: “Aku harus sukses… biar mereka lihat aku bukanlah orang yang nggak akan bisa sukses!”
Tanpa disadari, pengalaman diremehkan itu masih digenggam. Bukan sekadar sebagai kenangan, tapi sebagai identitas yang ia jadikan pondasi untuk menjalani hidup ini.
Trauma menjadi beban psikologis karena kita tidak pernah sungguh-sungguh memahaminya.
Kita terus menghindarinya. Kita jago bingit (saking jagonya) melarikan diri darinya.
Atau kita memberinya label: ‘aku trauma’, ‘aku blablabla’, dan seterusnya. Dan dengan begitu, kita menjadikannya bagian dari diri kita. Bahkan diam-diam kita nyaman dengan label itu.
Tapi pemulihan lewat jalan kesadaran bukanlah dengan memberi nama atau menganalisa luka itu. Pemulihan itu datang dari pengamatan langsung.
Amati lukamu. Berani melihatnya lebih dekat. Benar-benar sadari. Bukan sebagai pengamat yang terpisah, tapi sadar penuh hadir utuh bersama rasa sakit itu. Sit with it.
Tanpa mencoba melarikan diri, tanpa mencoba menghibur diri. Bukan melihatnya sebagai lawan, sehingga tanpa keinginan untuk memprosesnya, mereleasenya, mengubahnya. Hanya jeda, hening, sadari. Temui diri sendiri.
Dalam keheningan pengamatan yang utuh inilah, terjadi sesuatu yang sangat indah: trauma mulai kehilangan kekuatannya. Karena ketika kita benar-benar melihat sesuatu tanpa motif, tanpa penghakiman, tanpa keinginan untuk mengubahnya, maka kita sedang menyadari luka seapaadanya. Dan kesadaran yang utuh adalah kekuatan yang membebaskan.
Kebanyakan dari kita melihat luka sambil membawa agenda tersembunyi. Kita ingin sembuh, ingin tenang, ingin menghapus rasa tidak nyaman. Saat itu terjadi, kita tidak benar-benar melihat luka itu seapaadanya.
Kita mengintervensi luka itu dengan motif: “Supaya aku nggak sakit lagi”, dengan penghakiman: “Kenapa aku masih kayak gini sih?”, dengan keinginan untuk berubah: “Gimana caranya biar emosi ini hilang?”
Dan karenanya, kita tidak sadar penuh hadir utuh. Tapi kita mengontrol, bukan mengamati.
Hanya saat kita mengamati tanpa agenda apa pun, tidak ingin luka itu berubah, tidak ingin emosi itu pergi, di situlah muncul kesadaran penuh kehadiran utuh. Dan kesadaran inilah yang punya kekuatan pemulihan yang sesungguhnya.
Pemulihan dari trauma datang melalui kesadaran yang mendalam, tentang bagaimana pikiran menciptakan dan menggenggam luka itu. Saat kesadaran itu muncul, maka dengan sendirinya, luka yang selama ini mencengkram kita, akan lepas cengkramannya.
Dan hanya dalam kebebasan luka itulah, cinta bisa muncul. Cinta yang tidak dibentuk oleh masa lalu, tidak dibayangi oleh luka, tidak didorong oleh ketakutan.