Mencintai Dia Tapi Kamu Kehilangan Dirimu Sendiri?

4 menit baca

Sebenar-benarnya cinta justru membuatmu menemukan dirimu sendiri. Kamu tidak kehilangan dirimu sendiri. Karena kamu sudah mengenal siapa dirimu yang sesungguhnya.

Di sebuah kafe kecil yang sepi di Tebet, meja kayu, dua cangkir kopi, dan dua orang yang sudah menjalin relasi selama tiga tahun: Rani dan Galang.

“Aku nggak tahu kenapa,” kata Rani pelan, “tapi akhir-akhir ini aku ngerasa… kayak aku kehilangan diriku sendiri.

“Apa karena aku?” tanya Galang.

Rani menggeleng, “Mungkin… sebagian, iya. Tapi lebih dari itu. Aku sadar, dari awal aku jatuh cinta ke kamu bukan karena aku sudah utuh, tapi karena aku merasa kosong. Dan aku kira… kamu bisa isi kekosongan itu.”

Galang menarik napas panjang, “Dan sekarang kamu sadar itu nggak bisa?”

Rani mengangguk, “Ternyata, kamu nggak bisa jadi ‘penyelamat’. Nggak ada orang yang bisa.

“Aku juga pernah ngerasa gitu,” kata Galang. “Aku pikir, kalau aku punya kamu, aku akan ngerasa cukup. Tapi ternyata enggak. Bahkan waktu kamu udah di sini pun, aku tetap ngerasa kosong.”

Rani menatapnya, “Lalu sekarang?”

Galang jawab, “Sekarang, aku mulai belajar. Buat diam, buat sekadar sadar penuh hadir utuh di sini-kini. Buat nggak lari dari diri sendiri. Rasanya beda. Rasanya lebih tenang. Dan kalau aku mencintai kamu sekarang, itu bukan karena aku kesepian, tapi karena aku sadar: Kita adalah dua kesadaran yang saling menyapa, bukan saling menggantungkan.”

“Mungkin,” kata Rani, “dengan begitu kita baru mulai benar-benar saling mencintai.

Cinta adalah kata yang sering kita ucapkan. Tapi apa sebenarnya cinta itu? Apakah cinta selalu soal romansa? Apakah cinta berarti harus memiliki, melekat, atau bahkan kehilangan diri demi orang lain?

Ternyata, cinta memiliki banyak lapisan. Dan semakin kita menyadari siapa diri kita yang sesungguhnya, semakin dalam pula cinta yang bisa kita alami.

Seolah Cinta, Padahal Ternyata Kemelekatan: Antara Romantis dan Ketergantungan

Bayangkan seseorang yang bilang, “Aku cinta dia banget, rasanya nggak bisa hidup tanpa dia.”

Kedengarannya romantis. Tapi jika diamati lebih dalam, rasa cinta seperti ini seringkali lahir dari ketakutan, dari kemelekatan. Kalau begitu, sebenarnya itu bukanlah cinta.

Yang seolah cinta semacam ini mudah berubah. Hari ini penuh kasih, minggu depan bisa berubah jadi kemarahan, kekecewaan, bahkan benci. Kita menyebutnya love-hate relationship.

Kamu pernah kenal seseorang yang ketika awal pacaran begitu posesif dan penuh janji manis, tapi begitu udah pacaran lama bahkan menikah, ada konflik, langsung berubah jadi toksik? Itulah seolah cinta, padahal sebenarnya, ego keakuan yang ketakutan, kemelekatan, masih didorong oleh sisi emosional dan rasa memiliki, bukan kesadaran akan hakikat orang lain.

Cinta yang Sesungguhnya: Saat Kesadaran Bertemu Kesadaran

Lalu, ada bentuk cinta yang sesungguhnya: cinta di dimensi kesadaran.

Cinta ini bukan sekadar perasaan, tapi kesadaran. Saat kita mengenal diri kita bukan lagi sebagai sosok dengan peran dan cerita hidup, tapi sebagai kehadiran (presence) yang sadar di sini-kini, maka kita juga bisa melihat kehadiran kesadaran yang sama di dalam diri orang lain. Bukan melihat orang tua sebagai “orang tua saya,” anak sebagai “anak saya,” atau pasangan sebagai “milik saya,” tapi melihat mereka sebagai satu keutuhan kesadaran yang sama, dalam wujud yang berbeda.

Kamu pernah nggak, bertemu orang baru, mungkin hanya ngobrol sebentar, tapi merasa hangat, seperti ada kedekatan yang tak bisa dijelaskan? Itu bukan karena emosi, tapi karena sesungguhnya kamu menyadari hakikat orang itu (deeper I) di balik diri orang itu di level permukaan yang tampak. Dan itu adalah bentuk cinta di dimensi kesadaran.

Paradoks Mencintai Diri Sendiri (Self Love)

Di zaman sekarang, kita sering diajak untuk “mencintai diri sendiri.” Tapi coba pikir baik-baik: siapa yang mencintai siapa?

Kalau kita bilang, “Aku mencintai diriku sendiri,” artinya ada dua “aku” di dalam. Satu yang mencintai, satu lagi yang dicintai. Inilah mengapa banyak orang hidup dengan hubungan internal yang rumit, ada suara-suara dalam kepala yang saling berdebat, mengkritik, atau membela diri.

Pernah merasa seperti ini?

“Aku harusnya bisa lebih baik.”

“Ya tapi aku sudah berusaha.”

“Enggak, kamu nyerah terlalu cepat.”

Suara-suara ini bikin kita merasa terpecah, fragmentasi, karena kita belum hidup sebagai satu keutuhan.

Akhir dari Dialog Internal: Menjadi Hakikat Diri

Saat kita mulai sadar, dialog internal itu mulai mereda. Kita berhenti “berhubungan dengan diri sendiri” karena kita mulai terkoneksi dengan hakikat diri. Tidak ada lagi “dua aku” di dalam, hanya satu kehadiran (presence) yang utuh.

Bukan lagi, “Aku mencintai diriku,” tapi cukup: “Kesadaran.”

Dan dari keutuhan ini, kita pun mulai mencintai orang lain bukan karena kita butuh mereka supaya kita tidak merasa kesepian, tidak merasa kosong, supaya kita merasa cukup. Tapi lebih karena kita melihat kesadaran yang sama dengan kesadaran kita dalam diri mereka. Melihat mereka sebagai satu keutuhan kesadaran yang sama, dalam wujud yang berbeda.

Cinta Tanpa Kehilangan Diri

Ketika seolah cinta, padahal ternyata kemelekatan, maka kita bisa kehilangan diri kita sendiri dalam berelasi dengan orang lain. Tapi saat cinta lahir dari kesadaran, justru kita menemukan diri kita. Dan melihat bahwa orang lain pun adalah bagian dari kesadaran yang sama.

Kepada orang tua, kepada anak atau pasangan, yang membedakan hanya level emosinya, ada tambahan emosi yang beda-beda, tapi dimensi cintanya tetap sama.

Menjalani Relasi dengan Kesadaran

Kabar baiknya, cinta ini bisa tumbuh. Ia juga tidak menyingkirkan emosi, tidak melawan emosi, tapi melampauinya. Artinya, cinta itu bisa jadi mengandung emosi, tapi tidak terbatasi kaku oleh emosi.

Dan ketika cinta ini hadir dalam relasi, entah dengan orang tua, anak, pasangan, atau siapa pun, maka tidak lagi ada kehilangan diri. Karena kita sudah punya pondasi cukup kuat perihal mengenal hakikat diri kita yang sesungguhnya.

Cinta yang Utuh Berawal dari Kesadaran

Cinta yang utuh bukan tentang memiliki. Bukan tentang mengisi kekosongan. Cinta ini lahir dari kesadaran penuh kehadiran utuh. Saat kita berhenti melihat dunia dari cerita ego kita, dan mulai melihat lewat dimensi kesadaran.

Di sanalah cinta yang seperti langit, formless, sangat lapang, tidak bisa dijangkau oleh awan-awan pikiran dan perasaan. Dan cinta seperti ini tidak mengenal kehilangan. Karena kita satu keutuhan kesadaran yang sama, yang senantiasa ada. Hanya di dimensi kebendaan, wujud kita saja yang berbeda-beda.

Mental Health, Mindfulness, Psychology, Relationship, Self Improvement
4 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan