Narasi Diri yang Terluka: Hidup yang Digerakkan oleh Trauma

2 menit baca

Trauma berakibat membentuk narasi diri yang terluka: “Aku enggak layak dicintai,” “Aku enggak penting,” dan sebagainya. Dan kita tanpa sadar memakai narasi diri itu untuk menjalani hidup ini.

Pada suatu malam, saya duduk sendirian di kamar, memandang kosong ke langit-langit. Tiba-tiba muncul pikiran di kepala yang berawal samar lalu perlahan menguat, “Kamu enggak layak dicintai.” Pikiran itu bukan sesuatu yang baru. Pikiran yang sudah ada sejak lama, seperti bayangan yang tak pernah benar-benar pergi.

Ada kalanya muncul pula pikiran lain:

“Kalau aku enggak ngurus semuanya, siapa lagi?” Seakan hidup ini bergantung pada pundak saya. Bahkan saat masih kecil, perasaan sendirian itu sudah ada. Bukannya bermain bebas, saya malah merasa ditinggalkan, sendirian.

Dan ada satu pikiran yang lebih licik: “Berteman dengan orang itu bahaya.” Seolah memukul rata setiap interaksi itu konsekuensinya selalu hanya: ditinggalkan, dikecewakan, atau disakiti. Akibatnya, sering menjaga jarak dengan orang.

Ketiga pikiran ini lama-lama menjadi naskah hidup yang saya jalani tanpa sadar. Saya menyebutnya sebagai narasi diri yang terluka.

Narasi yang Kita Hidupi Sehari-hari

Narasi diri yang terluka itu tidak selalu tampak jelas. Narasi itu bisa muncul di tengah percakapan dengan pasangan, saat merasa curiga dan takut ditolak. Narasi itu bisa muncul di pekerjaan, ketika terlalu banyak beban yang dipikul sendiri karena merasa enggak enak minta tolong. Narasi itu bisa muncul di tongkrongan, ketika ada kesedihan yang terasa asing, lalu buru-buru ditutupi dengan tawa.

Narasi diri yang terluka itu seperti kacamata. Kalau kacamatanya buram, seluruh hidup ini ikut terlihat buram. Padahal mungkin bukan hidup yang bermasalah, tapi cara kita melihatnya.

Narasi Mirip Algoritma

Pikiran yang muncul dan narasi diri yang terluka itu mirip algoritma di media sosial. Misalnya, kalau sekali klik video gosip yang palsu, yang muncul berikutnya video gosip itu lagi, lagi, dan lagi. Lama-lama kita percaya itu kenyataan yang benar. Begitu juga dengan narasi diri. Sekali kita percaya “aku tidak layak dicintai”, otak akan mencari bukti-bukti yang menguatkan itu. Satu pesan WhatsApp yang telat dibalas bisa terasa seperti konfirmasi: “Tuh kan, bener. Aku enggak penting.”

Melihat dengan Kacamata Baru

Ada hal penting yang perlahan saya pelajari: “Menyadari bukan berarti menyalahkan.” Menyadari berarti melihat dengan jernih. Bahwa narasi ini bukan kenyataan mutlak, melainkan warisan masa kecil yang masih terbawa sampai sekarang.

Ada bagian kecil dalam diri kita yang dulu hanya ingin merasa aman. Ada bagian kecil yang ingin tahu rasanya dicintai tanpa syarat. Ada bagian kecil yang dulu takut kehilangan, lalu memilih menjauh.

Ketika bagian-bagian kecil itu mulai disadari, ada ruang baru untuk bernapas. Ada kemungkinan untuk hidup bukan dari pikiran lama, tapi dari kesadaran saat ini.

Kadang saya bertanya ke diri sendiri:

Apakah hidup sekarang ini saya jalani dengan kesadaran saat ini, atau diam-diam saya sebenarnya masih terpenjara narasi luka lama yang tanpa sadar terus saya ulang di pikiran?

Mungkin kamu juga pernah merasa begitu. Kalau iya, percayalah, kamu tidak sendirian. Kita sama-sama sedang belajar memulihkan luka.

Mental Health, Mindfulness, Psychology, Relationship, Self Improvement
2 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan