Orang Terdekat Membawa Trauma Masa Lalu

3 menit baca

Pernah gak sih, bingung harus ngapain waktu orang terdekat, sikapnya dipengaruhi trauma masa lalunya (trauma response)?

Kami duduk di bangku coffee shop, di deket pohon yang daunnya basah gara-gara hujan tadi pagi. Sore yang mendung, seperti udara setelah hujan. Teman saya, panggil saja Nadia, menatap ke kejauhan. Tangannya menggenggam cangkir kopi.

“Aku bingung banget,” katanya tiba-tiba. “Tadi pagi dia marah lagi. Marah besar. Cuma gara-gara aku lupa bales pesan semalam.”

Saya hanya menoleh sedikit, memberi tanda bahwa saya dengerin.

“Awalnya aku pengin jelasin. Tapi setiap kali aku buka mulut, dia langsung motong. Terus bilang aku selalu begini, selalu begitu. Aku diem. Tapi dia malah makin nyerocos. Akhirnya aku ngomong juga, dan… ya, berantem lagi.”

Ia menghela napas panjang, “Lucunya, itu bukan dia yang biasa aku kenal. Bukan dia yang kemarin peluk aku pas aku lagi drop. Kayak… orang lain. Mata, nada suara, semuanya beda.”

Angin pelan-pelan lewat, membawa aroma tanah basah.

“Aku ngerasa bukan ngobrol sama dia. Tapi kayak… luka lamanya lagi nyerang aku.” Ia menatap saya, matanya agak berkaca-kaca, “Konyol gak sih?”

Kami diam. Tapi keheningan itu memberi ruang buat bernapas sejenak.

“Aku jadi sadar,” katanya lagi setelah beberapa saat, “Selama ini aku berusaha ngadepin kemarahannya. Atau ngelawan. Atau berusaha menenangkan dia. Tapi aku gak pernah diem dan ngeliat dia bener-bener.”

Ia masih bicara:

“Mungkin waktu dia meledak, dia sebenarnya cuma lagi disetir sama luka masa lalu yang bahkan dia sendiri gak sadar masih ada. Dan aku… gak harus nyelametin dia. Tapi cukup gak ikutan tenggelam.”

Ia mengangguk pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri.

Ketika seseorang, trauma masa lalunya masih jauh dari pulih, dia masih sangat menggenggam luka itu, maka komunikasi apa pun dengannya tidak dia landasi kesadaran, tapi dia cenderung dikuasai emosinya.

Ketika Orang Terdekat Membawa Trauma Masa Lalu

Luka lama yang masih parah, bahkan numpuk, nggak pernah ada upaya memulihkannya, bisa meledak sewaktu-waktu tanpa kendali. Dan waktu itu terjadi, rasanya kayak orang yang kita kenal “hilang sementara”.

“Aku harus ngomong atau diem?”

Pasanganmu lagi dikuasai traumanya. Kamu ngerasa serba salah. Kalau ngomong, dia makin nyolot. Kalau diem, dia bilang kamu cuek.

Dalam kondisi ini, sebenarnya dia nggak berinteraksi sama kamu. Tapi sama luka lama di dalam dirinya sendiri yang sedang naik ke permukaan dan butuh sasaran tembak. Dan karena di dekat dia itu kamu, maka yang jadi sasaran tembaknya itu kamu.

Luka Lama = Operating System Lama

Bayangin dirinya lagi “running” operating system versi kuno, usang. Kamu ngobrol baik-baik, kamu bawa argumen paling logis pun, tetep aja ditolak. Karena yang kamu ajak bicara bukan versinya yang sekarang, tapi luka lamanya yang belum selesai.

Kapan Komunikasi Masih Mungkin?

Kalau masih ada sedikit kesadaran, misalnya dia bilang:

Aku tahu ini salah sih, tapi aku beneran kesel banget…

Itu tandanya dia belum sepenuhnya dikuasai lukanya, belum sepenuhnya berada di dimensi ketidaksasaran. Maka masih ada ruang untuk ngobrol pelan-pelan.

Tapi kalau udah masuk fase:

Kamu tuh selalu gini! Sama aja kayak waktu itu! Dan kamu gak pernah berubah!

Dia sepenuhnya dikuasai lukanya. Kamu udah bukan ngobrol dengan dia. Kamu ngobrol dengan luka lamanya.

Respon Tanpa Reaksi = Diam yang Sadar

Kalau kamu ikutan emosi, jadinya kayak duel dua luka, duel dua ketidaksadaran. Kalau kamu diem tapi dalam hati ngegas, itu tetap terasa, dan itu jadi energi buat lukanya makin menyala. Tapi kalau kamu diam dengan sekadar hadir, be present, di sini-kini, luka dia gak dapat energi.

Kadang sikap seperti itu adalah bentuk kasih sayang tertinggi. Tapi hanya kalau kamu bener-bener sekadar hadir, be present, di sini-kini, bukan pasif-agresif.

Bukan Kabur, Tapi Mundur Dengan Sadar

Kadang yang paling bijak adalah ambil jarak dulu, mundur dulu, bukan karena takut, tapi karena kamu sadar:

  • Obrolan ini gak akan selesai sekarang.
  • – Emosinya butuh waktu buat reda.

Kamu boleh bilang:

Aku dengerin kamu. Tapi aku rasa kita butuh waktu sebentar supaya kita gak saling nyakitin.

Itu bukan menghindar. Itu ngasih ruang agar bisa kembali terhubung lagi dengan kesadaran.

Bikin Kesepakatan di Masa Tenang

Pas semuanya udah lerem, adem, tenang, bahas:

  • Gimana kalau suatu saat nanti salah satu dari kita mulai “meledak” dikuasai trauma lagi? Kita saling ngingetin ya?
  • – Bisa gak kita ngingetin bilang, “Sepertinya ada luka yang kamu bawa dari masa lalu.”
  • Tanpa marah dan nyalahin.

Itu bentuk kesepakatan kesadaran dalam relasi.

Yang Kamu Cintai Akan Kembali

Kadang orang yang kamu cintai bisa “hilang” sementara. Dikuasai luka trauma lama, tenggelam dalam ketidaksadaran.

Bukan karena dia sepenuhnya jahat. Tapi karena ada bagian dalam dirinya yang masih terluka.

Tugasmu bukan jadi pahlawan atau pun terjebak dalam mental korban. Tugasmu adalah jadi ruang hening yang sadar, bukan bagian dari badai luka itu.

Mental Health, Mindfulness, Psychology, Self Improvement, Spirituality
3 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan