Relasimu sebenarnya mengajarimu sesuatu. Dari relasimu, kamu belajar apa?
Awan mendung sudah menggantung rendah pagi itu. Di sebuah warung sarapan kecil, Langit dan Tama duduk berseberangan. Dua gelas teh masih mengepulkan aroma hangat, tapi suasana hati Tama terasa begitu kedinginan.
“Aku capek, Lang,” kata Tama pelan. “Kayaknya hubunganku sama Dita makin ribet tiap hari. Kayak… selalu ada aja yang bikin ribut.”
Langit tanya, “Ribetnya di mana?”
Tama menghembuskan napas berat, “Dia terlalu sensitif. Aku ngomong dikit, bisa jadi panjang. Bikin aku pengen menjauh.”
Langit diam sebentar. “Atau mungkin… yang bikin capek bukan Dita. Tapi hal yang sangat takut kamu lihat dari dirimu sendiri.”
Tama mengerutkan kening, “Maksudmu gimana?”
“Aku cuma menduga,” Langit mengangkat bahu, “Kadang relasi kita sama seseorang itu kan cuma pantulan. Mungkin Dita bukan masalahnya. Tapi responmu ke dia. Reaksimu. Keinginanmu untuk menghindarinya, bukan malah memahaminya.”
Tama terdiam. Sampai suara denting sendok diaduk menyentuh gelasnya terdengar jelas di tengah keheningan.
“Kamu bilang kamu capek karena dia terlalu sensitif,” lanjut Langit, “Tapi apa kamu pernah benar-benar duduk dulu, tenang buat dengerin, dan kamu nanya, berusaha memahami Dita: ‘Kenapa hal itu bikin dia sensitif banget ya?’”
Tama berhenti mengaduk, “Aku enggak tahu… Aku ngerasa aku udah cukup sabar.”
“Kamu mungkin sabar. Tapi sabar itu beda dengan kamu sekadar hadir. Sekadar hadir itu kamu berani ngaca. Dan relasi itu, Tam… ya cermin paling jujur yang kita punya.”
Tama tersenyum kecut, “Aku kira Dita yang harus berubah.”
“Bisa jadi lewat relasi, kamu berdua perlu belajar sesuatu. Tapi pelajarannya bukan tentang nyalahin siapa. Pelajaran utamanya ya tentang dirimu sendiri. Lewat dia.”
Relasi adalah guru.
Tentu bukan seperti seorang guru secara fisik, bukan seorang coach atau healer di luar diri kita. Maksudnya, kita hanya bisa benar-benar mengenal diri sendiri lewat cara kita berelasi: dengan orang lain, juga dengan kelompok, dengan hewan peliharaan, dengan alam, dengan sesuatu, dengan benda-benda, dengan pikiran kita sendiri, dengan Tuhan, dengan apapun itu.
Semua hubungan itu seperti cermin yang memantulkan isi dari batin kita.
Jika kita penuh rasa takut, kesedihan, kemarahan, ketergantungan, atau kemelekatan, maka itu akan muncul dalam relasi kita.
Kalau kita benar-benar memperhatikan relasi itu, tanpa menghakimi, tanpa ingin mengubah, tapi hanya menyadari dengan penuh kejernihan, maka kita sedang belajar melihat langsung sebenarnya diri kita.
Dan itulah fungsi sejati dari seorang guru, yaitu mengungkapkan kebenaran tentang diri kita, kebenaran tentang kehidupan ini.
Relasi kita saat ini (dengan pasangan, teman, orang tua, rekan kerja, anak) adalah tempat belajar mengenal diri yang begitu mendalam.
Di relasi itulah diri kita yang sesungguhnya terungkap. Dan hanya dengan memahami diri sendirilah, kita bisa benar-benar mengalami pemulihan.
Kita sering cuma mencari guru di luar: profesional kesehatan mental, coach, healer, tokoh bijak, juga quote, afirmasi, buku, ajaran. Tapi sesungguhnya, relasilah yang paling jujur mengajar kita.
Bukan hubungan yang manis dan sempurna,
tapi justru yang membuat kita tidak nyaman, yang memunculkan marah, takut, sedih, kecewa, dan kemelekatan.
Kenapa?
Karena lewat relasi itu, kita bisa jernih melihat diri kita yang sesungguhnya: Ego yang ingin diakui, luka lama yang belum sembuh, ekspektasi yang menuntut dipenuhi, dan pola lama yang terus berulang tanpa sadar.
Kalau kita mau jujur, mengakui seapaadanya, nggak dibagus-bagusin, nggak dijelek-jelekin, dan sekadar hadir, relasi menjadi cermin batin. Kita jadi bisa melihat kondisi batin kita sebenarnya gimana. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami.
Dan di situlah pelajarannya muncul…
Karena relasi yang ada saat ini adalah guru yang mengungkap dirimu, yang selama ini kamu sangat takut melihatnya.