Konten-konten tentang self love, kamu ikuti, kamu berusaha self love, tapi jadinya kamu justru jadi self centered, selfish?
Di sebuah warung kopi yang sepi pengunjung, dekat jendela, teman saya menatap kosong ke cangkirnya yang tinggal separuh.
“Aku capek,” katanya, tanpa perlu ditanya.
“Capek kenapa?” tanya saya sambil mengaduk teh panas yang sudah mulai hangat.
“Capek terus mikirin gimana caranya biar bisa mencintai diri sendiri. Katanya itu kunci healing, kunci pemulihan. Tapi makin aku berusaha, makin aku merasa… palsu. Kayak ada yang aku paksakan.”
Saya diam. Dia lanjut.
“Setiap hari harus afirmasi bahwa diriku ini itu, diriku positif. Harus maafin diri. Harus bersyukur. Tapi di balik itu semua, aku tetap ngerasa… kosong. Kayak aku lagi akting jadi versi yang lebih ‘layak dicintai’ dari diriku sendiri.”
Saya mengangguk pelan. Lalu bilang,
“Kalau kamu berhenti mikirin harus mencintai diri sendiri, kamu jadi apa?”
Dahinya mengernyit, “Maksudnya?”
“Maksudku… kalau kamu nggak perlu mikir harus jadi ‘positif’, harus jadi ‘kuat’, harus punya versi ideal dirimu. Kalau kamu berhenti sebentar… dan sekadar… hadir. Duduk. Bernapas. Tanpa harus jadi apa-apa. Tanpa harus becoming… Just be.”
Dia diam. Lama.
“Kayak… kucing ya?” katanya kemudian. “Kucing pernah mikir gak ya, ‘Aku udah cukup belum sebagai kucing?’”
Saya tertawa kecil. “Iya. Tapi tetap disayang juga, kan?”
Dia ikut tertawa. Tapi kali ini tawanya ringan, lebih seperti… pelepasan.
“Jadi aku nggak harus mencintai diri sendiri dulu buat tenang?” tanyanya.
“Nggak juga. Kadang kamu cuma perlu berhenti mempercayai semua cerita tentang dirimu di kepala. Baik cerita yang negatif, maupun cerita yang positif… Itu semua cuma ciptaan pikiran.”
Dia menatap ke luar jendela.
“Napas ini cukup ya?”
Saya mengangguk.
Banyak orang menderita karena citra mental tentang diri mereka sendiri yang diciptakan pikiran.
Sebagian besar penderitaan batin manusia berasal dari gambaran mental tentang siapa dirinya yang diciptakan pikiran. Tentang seperti apa tubuh kita, bagaimana kepribadian kita, atau apakah kita cukup baik menurut standar tertentu. Pikiran menciptakan narasi seperti:
“Aku tidak cukup pintar.”
“Tubuhku tidak menarik.”
“Aku gagal sebagai manusia.”
Narasi ini hanyalah pola pikiran, bukan kebenaran. Tapi kita mempercayainya, dan itulah sumber penderitaan.
Mencintai diri sendiri adalah langkah awal, bukan tujuan akhir.
Saat seseorang menyadari bahwa mereka terus-menerus diserang oleh pikiran negatif, mereka bisa mulai menggantinya dengan pikiran positif, seperti:
“Aku layak dicintai.”
“Aku cukup.”
Dan sebagainya.
Ini yang disebut self-love, atau mencintai diri sendiri. Ini jauh lebih sehat daripada membenci diri sendiri. Tapi ini masih berbasis pada pikiran. Hanya mengganti narasi negatif menjadi narasi positif. Cuma narasi yang sama-sama diciptakan pikiran.
Maka, mencintai diri adalah tahap antara, bukan tempat akhir untuk berhenti.
Melampaui tahap cinta-diri: Sekadar hadir, just be, tanpa melekat (attach) pada citra diri.
Terhubung dengan kesadaran sejati (pure awarenss, deep I) ketika kita berhenti menjadikan pikiran sebagai identitas. Kita tidak lagi perlu melekat pada citra mental tentang diri kita yang diciptakan pikiran, tidak lagi harus mengubah pikiran negatif tentang diri jadi pikiran positif tentang diri.
Lihatlah anjing atau kucing… Mereka tidak terlalu punya opini tentang diri mereka.
Seekor kucing tua tidak terlalu merenung, “Dulu aku bisa melompat tinggi, sekarang tidak, apa gunanya hidup?”
Mereka sekadar hadir.
Itulah yang terjadi ketika kita hidup tidak lagi terlalu berdasarkan citra diri negatif-positif yang diciptakan pikiran.
Dan manusia bisa begitu, bukan dengan mundur ke fase kebodohan, tidak menggunakan pikiran, tapi dengan melampaui pikiran.
Kita adalah kesadaran yang senantiasa hadir (presence), bukan narasi pikiran negatif-positif.
“You are not a mental image. You are presence.”
Kita bukan narasi pikiran di kepala.
Kita bukan suara yang berkata “aku ini negatif, aku ini positif, aku orangnya begini dan begitu.”
Kita adalah kesadaran yang menyadari narasi itu, bukan narasinya.
Kalau kita hidup semakin terhubung sama kesadaran, maka diri kita tidak lagi bertumpu pada identitas, citra mental tentang diri yang diciptakan pikiran, tapi pada kesadaran murni yang sekadar hadir, senantiasa hadir, sangat lapang, formless, just be. Seperti langit.
Membenci diri = hidup dalam pola pikir negatif.
Mencintai diri = menggantinya dengan pola pikir positif.
Tapi pemulihan yang sesungguhnya terjadi bukan dari mengubah isi pikiran, melainkan dari tidak lagi mengidentifikasi diri dengan pikiran.
Seperti kucing atau anjing, nggak terlalu melekat pada citra image tentang diri sendiri yang diciptakan pikiran. Itulah kebahagiaan tanpa syarat, itulah pulih yang sesungguhnya.
Ketika kita begitu, itu bukan berarti mundur ke fase kebodohan, tidak menggunakan pikiran, tapi itu melampaui pikiran.