Perselingkuhan tidak hanya sebagai skandal moral, tapi sebagai tanda adanya isu yang lebih dalam.
Perselingkuhan bukan hanya soal hadirnya orang ketiga. Pasangan yang berselingkuh, yang membuka pintu juga bertanggung jawab, bukan hanya yang datang dan mengetuknya. Yang mengkhianati bukan orang ketiga. Yang mengkhianati adalah dia yang pernah berjanji setia.
Di sudut ruang kerja itu, duduk Restu dengan wajah kusut. Di hadapannya, Ella berdiri, tangan terlipat di dada, ekspresinya dingin tapi matanya tajam.
Intan, teman Restu, memperhatikan mereka dari meja seberang. Rasanya semua orang tahu ada sesuatu di antara mereka.
“Aku nggak ngerti kenapa kamu nyalahin aku terus,” suara Ella cukup keras.
Restu mengusap wajahnya, menarik napas berat, “Kamu tahu sendiri posisimu, La. Kamu orang ketiga di sini.”
Ella tersenyum pahit, “Orang ketiga? Kamu yang datang ke aku, Restu. Kamu yang cerita soal hubunganmu sama istrimu enggak hangat lagi. Kamu yang mulai semua ini.”
Intan bisa merasakan ketegangan itu. Kata-kata Ella begitu menohok. Ada kebenaran yang tidak mau diakui Restu di sana.
“Kita berdua sama-sama salah,” lanjut Ella, nadanya tegas. “Jadi jangan pura-pura bersih, Restu. Kamu yang sudah punya komitmen. Kamu yang memilih untuk melanggar, bukan aku.”
Restu menunduk, kehilangan kata. Ia mencoba berbicara tapi lidahnya kelu. Ella memandangnya sejenak sebelum meraih tasnya.
“Mulai sekarang kita udahan. Aku nggak mau berhubungan sama kamu lagi,” katanya singkat, lalu berbalik menuju pintu. Meninggalkan Restu yang masih duduk dengan wajah tertunduk. Sambil merenungkan kebenaran yang dikatakan Ella:
“Orang ketiga sering disalahkan. Tapi bukankah pintu itu cuma bisa terbuka kalau ada yang membuka dari dalam?”
Perselingkuhan selalu menjadi topik yang memicu emosi. Kita cenderung secara refleks mencari “kambing hitam”, dalam banyak kasus, sosok yang dilabeli pelakor, pebinor atau orang ketiga. Sosok ini sering jadi sasaran amarah, caci maki, bahkan bullying sosial.
Tapi kalau kita mau melihat dengan lebih jernih, hubungan yang retak dan terjadinya perselingkuhan tidak pernah hanya soal “pihak ketiga” saja.
Dalam dinamika relasi, perselingkuhan adalah akibat dari beragam sebab. Ada faktor-faktor internal yang harus dilihat dari kedua pihak dalam berelasi.
1. Tanggung jawab personal
Pasangan yang memutuskan untuk berselingkuh lebih bertanggung jawab atas terjadinya perselingkuhan itu. Meski mungkin ada masalah di relasi atau ketidakpuasan emosional, keputusan berelasi dengan pihak ketiga itu gimana pun berasal dari dirinya. Ini berkaitan dengan *self-regulation* dan *moral agency,* kemampuan seseorang untuk mengendalikan perilaku dirinya secara sadar, bahkan ketika sedang menghadapi tekanan emosional.
2. Relasi sebagai sistem
Individu, setiap kita ini adalah bagian dari suatu sistem yang lebih besar. Jadi kita bisa melihat relasi sebagai sebuah ekosistem, di mana perilaku satu pihak saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pihak lain. Artinya, ketika perselingkuhan terjadi, biasanya sudah ada pola-pola komunikasi yang bermasalah, kebutuhan yang tak terpenuhi, atau konflik yang tidak terselesaikan dalam relasi tersebut.
Ini tidak membenarkan perselingkuhan ya, tetapi membantu kita memahami bahwa akar masalah sering sudah ada jauh sebelum “orang ketiga” masuk ke dalam relasi. Sekali lagi, ini tidak membenarkan, tapi mengenali, memahami akar masalah.
3. Faktor kebutuhan emosional
Perselingkuhan juga kemungkinan berhubungan dengan kebutuhan yang dirasakan tidak dipenuhi. Bisa kebutuhan akan validasi, keintiman, keluar dari rutinitas yang membosankan, atau sekadar merasa “dihargai”. Sayangnya, alih-alih mengkomunikasikan hal itu dengan pasangannya, sebagian orang malah mencari pemenuhan di luar relasi, di pihak ketiga.
4. Budaya menyalahkan “orang luar”
Di masyarakat kita, seringkali ada narasi moral yang lebih mudah menyalahkan pihak ketiga. Padahal perselingkuhan hanya bisa terjadi ketika seseorang dalam hubungan membuka pintu. Hanya menyalahkan orang ketiga membuat kita abai pada fakta bahwa pasangan yang berselingkuh memiliki kontrol dan tanggung jawab penuh atas pilihan tindakannya sendiri.
Sekarang ini, dengan meningkatnya kesadaran akan Psikologi, kita didorong untuk memandang perselingkuhan tidak hanya sebagai skandal moral, tapi sebagai tanda adanya isu yang lebih dalam, baik pada individu maupun relasi.
Ini bukan berarti lalu victim blaming kepada pasangan yang dikhianati. Bukan. Justru, pemahaman ini mendorong kita melihat lebih dalam:
- Apa yang membuat seseorang melanggar komitmennya?
- Apa dinamika yang berperan dalam relasi sebelum perselingkuhan terjadi?
- Bagaimana masing-masing pihak bisa bertanggung jawab atas perannya?
Dengan cara pandang ini, kita tidak hanya berhenti pada penghukuman sosial kepada pihak ketiga, tapi juga mengajak introspeksi:
Di mana letak ketidakharmonisan relasi itu dimulai? Apa yang belum terselesaikan? Bagaimana keduanya bisa lebih sadar menjalin relasi yang lebih sehat?
Perselingkuhan bukan hanya soal orang ketiga yang “datang merebut”. Ada dinamika psikologis yang terjadi pada pihak yang berselingkuh, bisa jadi termasuk masalah komunikasi, kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi, dan pola relasi yang mungkin sudah lama rapuh.
Maka dalam memandang perselingkuhan, kita perlu jernih:
Berhenti hanya menyalahkan pihak luar, dan mulai melihat bagaimana kedua belah pihak dalam hubungan memiliki kontribusi terhadap apa yang terjadi.