Kalau cinta membuatmu bergantung sama dia, apakah itu berarti kamu beneran cinta dia?
Atau ketergantungan itu justru ekspresi ego?
Apa mungkin kamu, kita, selama ini keliru, sudah menganggap yang sebenarnya kemelekatan tapi kita kira sebagai cinta? Kita menganggap cinta itu ya cuma seperti cinta yang ditunjukkan di kebanyakan novel, lagu, dan film? Dan kita tidak pernah merenungkan ulang tentang sebenarnya cinta itu gimana ya?
Padahal kita baru bisa sungguh-sungguh mencintai ketika punya pemahaman tepat tentang mencintai. Celakanya, selama ini pemahaman kita jauh dari tepat sehingga mencintai justru melahirkan derita.
Oiya ini bukan hanya sesempit soal romantisme cinta dalam relasi dengan pasangan. Ini ruang lingkupnya lebih luas.
Termasuk juga dalam relasi antara orang tua dan anak, dalam mencintai idola, tokoh politik negara, klub olahraga, dan sebagainya.
Salah satunya, yang perlu kita renungkan ulang adalah cinta selama ini kita tempatkan sebagai lawan dari benci kan? Apakah benar, cinta adalah lawan dari benci?
Atau justru sebenarnya, cinta yang sesungguh-sungguhnya itu tidak memiliki lawan?
Ia tidak berlawanan dengan benci, atau dengan cemburu, takut kehilangan, atau rasa sakit. Kalo yang kita sebut “cinta” berlawanan dengan itu semua, maka itu bukan cinta, melainkan kemelekatan (attachment) ego. Itu bukan cinta, tapi ego yang membesar, yang menginginkan pegangan sebagai identitas dirinya dan dipuaskan oleh orang lain.
Ego selalu mencari identitas di luar dirinya. Karena tanpa identitas itu, ego tidak terlalu ada. Ketika merasa “kosong” atau “tidak lengkap”, ia mencari seseorang untuk dimiliki, untuk digenggam, untuk dijadikan cermin identitas. Karenanya muncul kalimat yang romantis sih seperti: “Tanpamu aku bukan siapa-siapa”, atau “Kamu adalah hidupku”.
Padahal itu bukan cinta. Itu kemelekatan. Dan kemelekatan selalu disertai ketakutan kehilangan. Disertai penderitaan.
Kalau perasaan “cinta” muncul dari kebutuhan untuk diisi oleh orang lain, muncul karena kamu merasa butuh orang lain supaya kamu merasa utuh, bahagia, atau demi dirimu punya arti, maka kamu tidak benar-benar mencintai orang itu. Kamu hanya sedang memenuhi kekosongan di dirimu lewat dia. Kamu hanya melekat pada image dia di pikiranmu. Akibatnya, kamu berusaha memilikinya, mengendalikannya, bahkan menguasainya, agar senyatanya dia selalu sesuai dengan image dia yang ada di pikiranmu.
Cinta sesungguhnya tidak lahir karena kita merasa kekurangan cinta, lalu minta orang lain memberikan cintanya. Bisa bayangkan, sama-sama kekurangan cinta, tapi juga sama-sama menuntut diberi cinta. Maka berakibat konflik. Kurang lebih, begitulah yang terjadi dalam kebanyakan relasi.
Seperti dua orang sama-sama haus, enggak punya minum, tapi juga sama-sama menuntut diberi minum.
Sebaliknya, cinta sesungguhnya muncul saat diri sudah cukup, sudah utuh. Bukan karena ingin “mengambil”, tapi karena ingin “berbagi”.
Ia tidak ada kebutuhan untuk memiliki, mengendalikan, menguasai, atau pun membentuk orang lain menjadi apa yang kita inginkan.
Ia sekadar hadir, menemani, seapaadanya.
Sekarang ini, setidaknya kita mau mengakui dulu aja bahwa yang selama ini kita anggap sebagai mencintai, itu sebenarnya cuma kemelekatan ego, cuma ego yang ingin memiliki.