Padahal sebenarnya baru di waktu dan tempat yang cenderung baik-baik aja, enggak ada masalah besar yang mengancam… tapi jadi gelisah, enggak tenang, karena overthinking, pikiran berwisata masa lalu atau pun masa depan?
Apalagi malam hari, tubuh kita diam di sini, tapi isi kepala malah muter terus:
“Besok gimana ya deadline-nya?”
“Harusnya tadi tu aku ngomong gini…”
“Temen-temenku udah pada begitu, sedangkan hidupku? Kok begini-begini aja…”
“Situasi negara makin enggak menentu, bakal gimana ini hidupku?”
Tampak luar sih mungkin kelihatan tenang. Tapi di dalam… perang. Kita pun menderita.
Sebenarnya, kita enggak mungkin menderita di momen saat ini, di sini-kini.
Kalau kita benar-benar sadar penuh hadir utuh di sini-kini, terhubung dengan kesadaran akan sekarang, maka tidak ada penderitaan di sini-kini.
Coba amati: ketika kita tidak hanyut terseret pikiran tentang masa lalu (memori, ingatan), atau tentang masa depan (imajinasi, bayangan), ketika kita tidak sedang membandingkan “apa yang ada” dengan “apa yang dulunya ada” (masa lalu) atau dengan “apa yang seharusnya ada” (masa depan), maka enggak ada penderitaan yang muncul.
Penderitaan muncul ketika ada jarak antara kenyataan dan keinginan.
Penderitaan muncul ketika ada jarak antara momen di sini-kini dengan apa yang kita inginkan.
Aku sedang di sini, tapi aku ingin ada di sana. Aku merasa begini, tapi aku ingin merasa seperti itu. Ini adalah jarak psikologis, bukan fisik. Di sanalah penderitaan tumbuh: di ruang antara “sekarang” dengan “nanti”, antara “seapaadanya” dengan “apa yang kuinginkan”.
Penderitaan itu hasil dari ketegangan antara “dimensi di sini-kini” dengan “bukan dimensi di sini-kini.”
Sederhananya, dengan kata lain: Penderitaan adalah hasil dari penolakan terhadap sekarang. Kita tegang karena menolak momen saat ini. Kita ingin kabur darinya. Kita menginginkan realitas dengan versi yang berbeda daripada realitas sekarang.
Tapi ketika kita menolak momen saat ini, di sini-kini, akibatnya kita menolak satu-satunya ruang dan waktu di mana kehidupan ini terjadi. Dan penolakan terhadap kehidupan itu selalu melahirkan ketegangan. Melahirkan penderitaan.
Lha terus, bagaimana jalan keluarnya?
Kita tidak perlu berusaha menemukan “dimensi di sini-kini”, tidak perlu menciptakan “sekarang”. Dimensi ini sudah ada dan senantiasa ada.
Yang perlu kita lakukan hanyalah berhenti lari ke tempat selain di sini-kini. Berhenti berusaha untuk berada di tempat dan waktu lain, di masa lalu maupun masa depan.
Saat kita benar-benar menyadari momen ini seapaadanya, maka penderitaan kehilangan cengkeramannya. Yang tersisa hanyalah keheningan, ruang lapang, dan kedamaian yang tanpa syarat.
Karena pada akhirnya, sederhana sih: Kesadaran senantiasa di sini-kini. Kesadaran tidak pernah menderita. Yang menderita adalah pikiran yang hobinya menolak momen saat ini.