Di sebuah coffee shop kecil, Indra menatap pasangannya, Maya, yang baru saja meletakkan cangkir kopi di meja.
“Kamu berubah ya,” ucap Indra pelan.
Maya mengangkat kepala, “Berubah gimana?”
“Kamu dulu bikin aku ngerasa aman. Tapi sekarang… aku malah sering cemas. Kayak aku bisa kehilangan kamu kapan aja.”
Maya menghela napas, “Mungkin masalahnya bukan aku yang berubah. Mungkin dari awal kamu berharap aku jadi pelabuhan yang tenang buat semua gelombang di hidup kamu.”
Indra terdiam. Kata-kata Maya menghantam lebih keras dari yang ia kira.
“Tapi kalau kamu terus cari rasa aman dari aku,” lanjut Maya, “kamu bakal capek. Hubungan kita bukan tempat sembunyi. Kalau hubungan kita cuma kamu jadikan tempat berlindung, maka kita nggak pernah benar-benar ketemu. Yang ada cuma kamu yang mencari aman, dan aku yang sibuk jadi jangkar.“
Indra menunduk. Perlahan ia sadar: yang ia cari bukan Maya, tapi rasa aman yang ia tak pernah temukan di dalam dirinya sendiri.
Pernah nggak merasa bahwa relasi yang seharusnya bikin tenang, justru malah bikin lelah?
Banyak orang berpikir, kalau sudah punya pasangan, keluarga, atau sahabat dekat, hidup jadi lebih aman. Tapi kenyataannya, relasi justru sering menghadirkan rasa sakit, konflik, dan insecure.
Dan anehnya, kalau dalam sebuah relasi tidak ada perasaan insecure sama sekali, itu biasanya malah bukan tanda relasi sehat.
Itu justru tanda kalau relasi sedang kehilangan cinta. Seolah hangat, tenang, tapi mati rasa, seperti ditenangkan obat bius.
Ilusi Rasa Aman
Kita sering masuk ke dalam relasi dengan harapan bisa “aman” dan “nyaman.” Kita ingin relasi bisa kita pastikan sepenuhnya. Tapi justru di situlah jebakannya. Begitu relasi diperlakukan sebagai sumber keamanan, ia berubah menjadi ketergantungan, kemelekatan. Bukan cinta sejati. Padahal, relasi itu hidup, keindahan relasi itu ada justru pada ketidakpastiannya. Karena sifat alami hidup ini enggak pasti.
Relasi sering terasa enggak nyaman, karena relasi menyingkap sisi-sisi diri yang biasanya kita sembunyikan.
Kenyamanan yang Rapuh
Masalahnya, kebanyakan orang lebih memilih menghindari ketidaknyamanan ini. Sedikit aja enggak nyaman, marah. Sedikit aja enggak nyaman, ganti pasangan lain.
Kita mencari kenyamanan, kepastian, lewat kemelekatan (attachment): pasangan dijadikan sumber utama kebahagiaan, keluarga jadi tempat sembunyi, atau persahabatan jadi jangkar yang nggak boleh goyah.
Tapi kenyamanan seperti ini rapuh. Begitu rasa tidak nyaman muncul (dan itu pasti muncul) relasi lama ditinggalkan, lalu kita buru-buru cari yang baru. Seolah-olah relasi baru bisa selalu memberi rasa nyaman sepenuhnya. Padahal, nggak ada kenyamanan seperti itu.
Relasi itu senantiasa insecure dan enggak pasti.
Tidak Ada Keamanan dalam Relasi
Faktanya, tidak ada keamanan dalam relasi. Ketergantungan, kemelekatan hanya melahirkan ketakutan: takut ditinggalkan, takut dikhianati, takut kehilangan.
Kalau ketakutan ini nggak kita sadari dan pahami, relasi jadi belenggu. Kita tidak benar-benar bertumbuh, malah terjebak dalam lingkaran penderitaan yang sama, hanya berganti wajah dan nama.
Jalan Keluar: Mengenal Diri
Lalu bagaimana jalan keluarnya?
Bukan dengan menghindari relasi. Bukan juga dengan mencari “hubungan sempurna” yang katanya selalu aman dan tenang sepenuhnya. Jalan keluarnya adalah mengenal diri.
Kenyataan pahitnya, karena relasi memang bukan tempat untuk berlindung. Relasi adalah ruang untuk melihat diri dengan lebih jujur. Dan ketika kita berani bercermin lewat relasi, saat itulah ada kesempatan kita untuk bertumbuh dan pulih.