Banyak orang tumbuh dengan “kursi kosong” dalam hidupnya.
Rasa kehilangan, kesepian, atau tidak hadirnya sosok yang seharusnya hadir semasa kecil. Ruang kosong itu sering muncul lagi di hubungan, pekerjaan, bahkan mempengaruhi kesehatan fisik. Kita perlu menemui kosong dan perlahan belajar menerima kosong sebagai kosong.
Sejak kecil, saya terbiasa melihat satu kursi kosong di ruang makan. Kursi itu seperti simbol yang terus membayangi: karena tidak serumah, bapak sangat jarang duduk di kursi itu. Bahkan ada momen, saya merasa: bapak tidak pernah duduk di kursi itu. Saya lahir mengenal wajahnya, suaranya, tapi tanpa benar-benar merasakan kehangatan pelukan dan kehadirannya. , atau pelukannya. Kadang saya iri ketika teman-teman bercerita tentang ayah mereka yang mengajarkan naik sepeda, atau menjemput di sekolah. Saya hanya bisa berandai-andai, membayangkan samar, dan di balik bayangan itu ada rasa kosong yang sulit dijelaskan.
Kosong itu tidak berhenti di masa kecil. Kosong itu ikut tumbuh bersama saya. Saat remaja, saya sering merasa tidak cukup baik, takut ditinggalkan, dan tenggelam dalam perasaan sendirian. Dalam hubungan, adakalanya saya jadi cenderung menempel terlalu erat karena takut kehilangan. Tapi anehnya, kadang juga tiba-tiba menjauh, menutup diri sebelum benar-benar dekat. Seolah ada suara kecil di hati yang berbisik: “Kalau terlalu dekat, nanti kamu ditinggalkan lagi,” “Kamu ditinggalkan, kamu sendirian,” dan semacamnya.
Luka yang Menyamar dalam Kehidupan Dewasa
Saat bertumbuh dewasa, luka itu muncul dalam bentuk lain. Saya kadang jadi perfeksionis, berusaha keras agar segala sesuatunya sempurna sesuai rencana. Seolah-olah saya harus membuktikan sesuatu yang tak pernah saya dapatkan dari bapak: pengakuan. Dan saya tahu banyak orang juga pernah merasakannya. Misalnya, ketika ada teman yang berlebihan sibuk bekerja hanya supaya dianggap rajin, atau ketika kita mengunggah sesuatu di media sosial, sebenarnya bukan karena ingin berbagi, tapi karena berharap validasi, ada yang mengakui keberadaan kita.
Masalahnya, sekeras apa pun berusaha, tetap saja ada bagian diri yang merasa “kosong.” Alih-alih tenang, saya justru semakin lelah. Luka lama itu menyamar jadi motivasi, tapi di baliknya ada rasa kosong yang tidak pernah benar-benar terisi.
Badan yang Menyimpan Memori
Yang mengejutkan, tubuh ternyata ikut terpengaruh. Punggung saya sering tegang, maag sakit setiap kali cemas, kualitas tidur terganggu. Sepertinya tubuh menyimpan memori lama tentang rasa tidak aman sejak kecil. Ini bukan hanya soal pikiran atau emosi, tapi sampai ke badan. Banyak orang mungkin mengira ini sekadar sakit fisik, padahal sebenarnya badan sedang berusaha mengingatkan: ada sesuatu yang belum selesai di dalam diri.
Ruang Kosong yang Tak Terlihat
Cerita saya hanyalah satu wajah dari banyak kisah. Banyak anak yang sekarang sudah jadi adult children mengalami hal serupa dengan bentuk berbeda-beda. Ada yang tampak tegar, ada yang terlihat baik-baik saja, tapi di dalamnya menyimpan ruang kosong yang tidak pernah bisa diisi. Kadang, ruang kosong itu justru muncul di momen sehari-hari: saat melihat seorang bapak menggandeng anaknya di mall, atau ketika melihat postingan keluarga bahagia di media sosial. Rasa itu tiba-tiba datang tanpa diundang.
Menengok, Bukan Menyalahkan
Ruang kosong itu tidak akan hilang hanya dengan pura-pura kuat. Ruang kosong akan terus bergaung sampai kita berani menengoknya. Bukan untuk menyalahkan masa lalu, tapi untuk perlahan belajar menemui dan menemani perasaan kosong itu.
Karena pada akhirnya, kursi kosong itu bukan hanya tentang bapak yang tak pernah hadir. Kursi kosong juga tentang bagaimana saya belajar jadi teman untuk diri saya sendiri yang mau dan berani duduk bareng di tengah rasa kosong itu, tanpa berusaha mengisinya. Menerima kosong sebagai kosong. Karena yang bisa benar-benar mengisi rasa kosong adalah kosong itu sendiri.
Dan mungkin, setiap dari kita sebenarnya punya “kursi kosong” versi masing-masing. Pertanyaannya: apakah kita berani duduk di sebelah “kursi kosong” itu, melihat “kursi kosong” itu, menerima kosong sebagai kosong, tanpa berusaha mengisinya?