Mulai dari Diri Sendiri

3 menit baca

Kamu sibuk ngeberesin yang di luar, tapi yang di dalam masih terluka parah?

Kami berjalan beriringan di pinggiran taman kota. Jalan setapak berkerikil, pohon-pohon tinggi, dan suara burung yang samar di kejauhan. Langit mulai menguning, udara sore menggantung seperti jeda panjang sebelum malam.

Temanku menunduk sambil menatap langkahnya sendiri.

“Lucu ya… aku pikir, begitu resign dari kerjaan lama, pindah kota, mulai hidup baru… semuanya bakal terasa lebih ringan.”

Aku hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke depan. Tak ingin memotong alurnya.

“Tapi ternyata… kegelisahan yang aku pikir ditinggal di kota lama, ikut pindah ke sini juga.”

Dia tertawa kecil. Tapi tawanya terdengar seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu.

“Aku selama ini nyari kedamaian di tempat baru, orang baru, rutinitas baru. Tapi yang nggak pernah aku ubah justru caraku ngeliat semuanya.”

Langkah kami melambat.

Caraku ngeliat semuanya masih berdasar luka masa lalu.

Beberapa daun kering bergeser pelan tertiup angin.

“Dulu aku gampang nyalahin lingkungan: kerjaannya toxic, orang-orangnya nggak suportif, suasananya bikin sumpek. Tapi sekarang aku mulai sadar… mungkin bukan cuma lingkungan yang harus diberesin.

Ia berhenti sejenak. Menatap ke danau kecil di tengah taman.

“Mungkin… yang paling perlu aku urus juga, yang jadi pondasinya adalah caraku memperlakukan diri sendiri. Pikiran yang terus sibuk nyari yang salah, perasaan terluka yang aku pendam dan pura-pura nggak ada…”

Aku tetap diam. Menjaga ruang itu terbuka, tanpa interupsi.

Dia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan.

“Kayaknya aku baru paham… kalau aku nggak bisa jujur sama apa yang terjadi di dalam, aku bakal terus merasa salah tempat… di mana pun aku berada.”

Aku hanya tersenyum.

Dia tidak butuh saran. Dia sudah menemukan jawabannya sendiri.

Langit makin redup. Tapi entah kenapa, wajahnya terlihat lebih terang dari sebelumnya.

Di zaman yang serba cepat ini, banyak orang sibuk ingin mengubah dunia.

Mengadvokasi, memengaruhi, memberi nasihat, mengkritik. Bukan berarti itu nggak penting. Itu tetap perlu kita lakukan. Tapi satu hal sering dilupakan: lingkungan terdekat kita bukanlah kota tempat kita tinggal, bukan juga media sosial yang setiap hari kita akses. Lingkungan terdekat kita… adalah diri sendiri.

Tubuh ini, pikiran ini, emosi yang muncul-hilang dalam diam. Itulah ruang pertama yang perlu kita kenali. Sebab kalau kita tidak tahu bagaimana memperlakukan diri sendiri dengan jujur dan ramah, bagaimana mungkin kita tahu cara memperlakukan dunia dengan bijaksana?

Banyak orang ingin damai, tapi di dalam kepalanya sendiri, mereka terus-menerus berkelahi. Menilai diri, mengkritik sadis, mendorong tubuh untuk terus produktif meski sudah lelah. Dan semua itu berlangsung tanpa disadari. Maka, benar adanya bahwa diri sendiri adalah lingkungan terdekat kita. Jadi mulailah dari diri sendiri.

Ketika seseorang mulai menengok ke dalam, menyadari dirinya sendiri dengan penuh kejujuran, tanpa membela, tanpa melawan, juga tanpa menjelek-jelekkan, muncul cara pandang baru. Tidak lagi reaktif, tidak lagi terjebak dalam drama pikiran yang diulang-ulang. Dan menariknya, ketika cara memandang diri berubah, cara melihat dunia pun ikut berubah.

Orang yang dulunya cepat marah pada pasangan, menjadi lebih tenang karena ia sudah tahu bagaimana caranya duduk bersama emosinya sendiri.

Dari skill duduk bersama emosi sendiri itu lahir pemahaman. Dan dari pemahaman, muncul tindakan yang tepat. Tanpa harus direncanakan atau dipaksakan.

Kamu tidak perlu lagi bertanya harus bagaimana, karena arah hidup mengalir dari kejernihan yang hadir saat momen itu juga.

Tapi ada jebakan lain yang halus: ketika pemulihan itu berubah menjadi konsep, teknik, metode, lalu dikoleksi dalam bentuk ingatan, memori.

Kita merasa telah “mengerti” banyak hal, tapi hidup kita tetap berputar di pola lama. Padahal, pemulihan sejati bukan sebatas kata-kata, tapi yang diam-diam dihayati, mewujud dalam tindakan nyata.

Pemulihan sejati tidak membuatmu merasa lebih tahu, justru membawamu kembali ke keheningan di mana tidak ada yang benar-benar kamu ketahui. Sadar bahwa nggak tahu apa-apa.

Dalam keheningan itu, pemulihan terjadi dengan sendirinya. Masalah yang tadinya rumit larut perlahan, bukan karena kamu “menyelesaikannya”, tapi karena kamu berhenti menghidupinya lewat resistensi dan pertanyaan-pertanyaan yang tak berujung.

Di titik itu, tak ada lagi “aku yang paham” dan “pemahaman yang dimiliki”. Yang tersisa hanyalah ruang terbuka, di mana tak ada yang harus dijelaskan dan tak ada yang perlu dimenangkan.

Dan barangkali, justru di situlah kita benar-benar pulih, mulih, pulang. Bukan ke definisi tentang siapa diri ini, tapi ke ruang presence, sekadar hadir, yang tak lagi butuh validasi atau pun pencapaian.

Mental Health, Mindfulness, Psychology, Self Improvement, Spirituality
3 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan