Teknik Memulihkan Trauma, Menjauhkan dari Pulih

3 menit baca

Teknik, metode memulihkan trauma, justru bikin sulit pulih? Kalau pake teknik, metode, lalu apa bedanya kita sama mesin?

Di sebuah kantor konsultan kreatif yang cukup banyak beanbag dan aroma kopi, dua rekan kerja duduk berdampingan di salah satu ruang: Nina, staf HR yang tampak tenang tapi sering di dalam dirinya tegang, dan Vino, desainer yang terkenal cuek tapi diam-diam suka mikir dalam.

Pagi itu, Nina datang sambil menghela napas panjang. Dia duduk dengan membanting badannya di kursi, seperti ada beban di pundaknya.

“Udah 30 menit pagi ini aku mempraktekkan teknik healing, tapi tetep aja… aku pengen nimpuk orang,” gumam Nina sambil membuka botol minum.

Vino menoleh, alisnya naik sedikit.

“Wah. Berarti kamu mraktekin teknik itu buat nggak pengen nimpuk orang?”

“Iya lah. Biar lebih kalem, biar sabar.”

“Dan itu berhasil?”

“Hari ini nggak.”

Vino tertawa kecil. Lalu kembali menatap layar laptopnya sebentar, sebelum akhirnya menutupnya dan menoleh penuh ke Nina.

Kamu sadar nggak sih… teknik metodemu itu kayak nge-push dirimu biar jadi orang lain?

“Maksudmu?”

“Ya… kamu duduk diem, nglakuin teknik metode dengan aturan tertentu, atau napas diatur, pikiran diatur. Tujuannya biar jadi versi kamu yang lebih ‘tenang’. Biar kamu pulih dari traumamu. Tapi selama itu tujuannya, kamu bakal terus berusaha. Dan selama kamu berusaha, ya kamu nggak bener-bener be present di sini-kini.”

“Terus… harusnya gimana? Nggak usah nglakuin teknik metode itu?”

“Mungkin bukan soal nggak usah… Tapi lebih ke: kamu sadar aja dulu, kamu lagi nggak tenang, masih melekat pada emosi dan ingatan kejadian masa lalu. Dan nggak usah buru-buru benerin.”

Nina diam. Kalimat itu “menampar”nya, tapi sekaligus juga menuntunnya dengan pelan.

“Berarti… cukup duduk, dan sadari aja isi kepala ini, tanpa niat apa-apa?”

“Kayak ngopi bareng pikiran sendiri. Nggak usah ngajarin dia berubah. Dengerin aja dulu.”

“Kedengerannya gampang.”

“Dan justru karena itu… jadi susah.”

Nina tersenyum kecil.

Sebagian besar proses memulihkan trauma itu pake teknik-metode. Sedikit yang non teknik-metode atau direct path. Keduanya punya plus minus masing-masing. Nggak bisa dibandingkan.

Dengan tetap menghormati teman-teman yang pake teknik-metode, harap maklum dan memahami kalau saya tipe non teknik-metode.

Kenapa non teknik-metode?

Teknik, Metode Memulihkan Trauma = Ilusi Jalan Pintas

Sebagian besar orang ingin belajar bagaimana caranya memulihkan trauma. Maka muncullah berbagai sistem, metode, teknik, dari yang kuno sampai yang modern. Semua mengklaim bisa membawa Anda ke “kondisi pulih”, bahkan ke “pencerahan”, “kebebasan batin”, “spiritual awakening”.

Kita hidup di zaman di mana segala sesuatu bisa dipelajari lewat tutorial. pulih? Tinggal cari “gimana memulihkan trauma” di YouTube. Banyak sesi juga mengajarkan itu. Ada banyak teknik, metode. Semuanya menjanjikan satu hal: hasil. Bahkan hasil instant.

Tapi… justru di sinilah letak jebakannya. Kenapa?

Karena metode adalah formula. Sebuah prosedur tetap, aturan baku, “Lakukan ini, ikuti itu, dan kamu akan sampai ke sana.” Kita jadi melakukan sesuatu secara mekanis. Tapi kehidupan bukanlah mesin. Pulih bukanlah hasil dari repetisi.

Begitu kita mengikuti teknik, metode tertentu dengan harapan akan “menjadi pulih” atau “lebih damai”, kita sedang memperlakukan batin seperti mesin. Kita berpikir: kalau aku ngelakuin A, aku bakal dapet B.

Padahal, pulih bukanlah tentang mencapai sesuatu. Bukan tentang hasil.

Kalau kamu mengejar hasil, maka kamu nggak be present, kamu sedang berharap. Dan saat kamu berharap, kamu nggak berada di momen saat ini, di sini-kini.

Pola Lama, Obyek yang Dikejar Baru

Kita mungkin merasa sedang melakukan upaya memulihkan trauma, healing, bahkan hal spiritual, tapi diam-diam pola di dalam diri kita masih kapitalis: Latihan, produktivitas, hasil.

Itu bukan pemulihan.

Itu sama-sama dikuasai ambisi. Yang satu obyeknya: kekayaan, kekuasaan, duniawi, dsb. Yang ini kita cuma mengganti obyek yang dikejar: pulih, spiritual awakening, dsb.

Yang terjadi: kita melakukan teknik, metode healing itu, tapi di dalam diri kita:

• “Apakah aku sudah pulih?”

• “Kenapa emosiku masih ketrigger?”

• “Besok aku harus nglakuin teknik metode itu biar pulih, lebih tenang.”

Kita sibuk mengevaluasi diri. Kita malah jadi performatif. Kita berusaha jadi pulih, dan di situlah kita justru menjauh dari pulih.

Pulih Tidak Bisa Dilatih

Kedengarannya aneh, ya? Tapi coba kita renungkan lebih dalam:

Begitu kamu melakukan teknik, metode, dengan tujuan pulih, kamu sedang mengusahakan sesuatu, kamu di dimensi “becoming”.

Dan usaha itu sendiri muncul dari dimensi pikiran, thinking, ketidaksadaran. Di mana luka, trauma itu juga muncul dari dimensi itu.

Kamu melakukan teknik, metode, kamu “berlatih” supaya suatu hari nanti pulih.

Tapi pemulihan yang sesungguhnya cuma bisa terjadi di ruang nowness. Saat kamu benar-benar menyadari pikiran, perasaan, emosi apapun yang muncul. Termasuk benar-benar menyadari bahwa kamu sedang tidak sadar.

Itu bukan hasil dari teknik. Itu murni dari pengamatan yang jujur dan terbuka.

Intinya?

• Pemulihan bukan soal ngapain, tapi soal gimana kamu be present, sadar penuh hadir utuh di sini-kini.

• Bukan soal teknik-metode, tapi justru soal kebebasan dari jeratan berbagai teknik-metode.

• Bukan soal “berusaha menjadi pulih”, tapi soal “menyadari emosi, perasaan, pikiran dan ingatan kejadian masa lalu”

Kalau kamu bisa duduk, diam, hening, doing nothing, dan sekadar hadir menyadari pikiran lagi lari ke mana-mana, perasaan, emosi apapun yang muncul, itulah ruang pulih yang sesungguhnya.

Nggak perlu teknik-metode untuk itu. Hanya perlu satu hal: jujur pada momen ini, seapaadanya.

Mental Health, Mindfulness, Psychology, Self Improvement, Spirituality
3 menit baca

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan